Friday, 29 January 2010

sejarah Nama Indonesia

Sejarah nama INDONESIA

Sebelum kedatangan bangsa Eropa
PADA zaman purba kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama.


Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai *Nan-hai* (Kepulauan Laut Selatan).Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini *Dwipantara* Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta *dwipa* (pulau) dan *antara* (luar, seberang).

Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke *Suwarnadwipa* (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut tanah air kita *Jaza’ir al-Jawi* (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah *benzoe*, berasal dari bahasa Arab *luban jawi*(kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon *Styrax sumatrana* yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra .

Sampai hari ini jemaah **** kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi , Sunda, semuanya Jawa)” kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.


Masa kedatangan Bangsa Eropa

Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia . Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab , Persia , India , dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (*Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien*) atau “Hindia Timur” *(Oost
Indie, East Indies , Indes Orientales)* . Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (*Maleische Archipel, Malay Archipelago , l’Archipel Malais*).

Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah *Nederlandsch- Indie* (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah *To-Indo* (Hindia Timur).

Berbagai Usulan Nama

Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde*, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin *insula* berarti pulau).


Eduard Douwes Dekker

Tetapi rupanya nama *Insulinde* ini kurang populer. Bagi orang Bandung , *Insulinde* mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.

Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “ India ”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya.

Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 Lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.

Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari *Jawadwipa*( Pulau Jawa).

Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, *”Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” *(Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis.

Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern.

Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda. Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia . Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.

Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, *Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia * (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865),menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.


James Richardson Logan


Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel *On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations*. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (*a distinctive name*), sebab nama Hindia Tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: *Indunesia*atau *Malayunesia* (*nesos* dalam bahasa Yunani berarti Pulau).

Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: *… the inhabitants of the Indian Archipelago or malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.*

Earl sendiri menyatakan memilih nama *Malayunesia* (Kepulauan Melayu) daripada *Indunesia* (Kepulauan Hindia), sebab *Malayunesia* sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan *Indunesia* bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah *Malayunesia* dan tidak memakai istilah *Indunesia*. Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel *The Ethnology of the Indian Archipelago. * Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanahair kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan.

Logan memungut nama *Indunesia* yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan : *Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia , which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. * Ketika mengusulkan nama “ Indonesia ” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!

Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “ Indonesia ” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku *Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel* sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880.

Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam *Encyclopedie van Nederlandsch-Indie*tahun 1918.

Padahal Bastian mengambil istilah “ Indonesia ” itu dari tulisan-tulisan Logan. Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah “ Indonesia ” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama *Indonesische Pers-bureau. *

Masa Kebangkitan Nasional
Makna politis


Pada dasawarsa 1920-an, nama “ Indonesia ” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “ Indonesia ” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa *Handels Hoogeschool* (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam , organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama *Indische Vereeniging* ) berubah nama menjadi *Indonesische Vereeniging* atau Perhimpoenan Indonesia . Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.


Bung Hatta

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (*de toekomstige vrije Indonesische staat*) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli.

Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (*een politiek doel*), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (*Indonesier*) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya. “ Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan *Indonesische Studie Club*pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 *Jong Islamieten Bond* membentuk kepanduan *Nationaal Indonesische Padvinderij* (Natipij).

Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “ Indonesia ”. Akhirnya nama “ Indonesia ” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota *Volksraad* (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardji Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch- Indie”.


Kongres Pemuda

Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah. Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda” untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.

Thursday, 28 January 2010

Jangan ubah dasar negara kami!! Harga mati untuk itu...

Pancasila telah disebutkan dengan jelas dalam Naskah alinea ke-4 preamble (Mukadimah) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.,  dimana ia adalah amanat cita-cita mulia dari  para pendiri bangsa dalam membangun  dasar sebuah  nation (negara) besar Ber-Bhinneka Tunggal Ika,  “Berbeda-beda tetapi tetap satu” yang sekarang kita kenal bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bagi kita sebagai orang Islam, jiwa yang terkandung didalam Lima Sila PANCASILA bukanlah sesuatu yang asing lagi, bukan pula sesuatu yang merugikan apalagi hendak menghapuskan, karena apa yg telah disuarakan Lima Sila PANCASILA  merupakan bagian dari nilai-nilai Universal Islam.  Nilai-nilai PANCASILA itu terkandung di dalam ajaran indah Al-Qur’an.
Sebagai bagian yg cinta kepada negeri,  tulisan seorang ahmadi* berikut ini mencoba menguraikan contohnya.  Selamat membaca!
[] Sinar Islam bulan Sulh 1365 HS/Januari tahun 1986) No.1 – Th LIII
Oleh : Ali Mukhayat M.S.*
Sila kesatu, Ketuhanan Yang Maha Esa
Surah Al-Ikhlash, surah Asysyuura:11
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Surah Saba’: 1
“Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”
Surah Alhasyr: 22 – 24
“Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. “
Surah Al-Maa-idah: 73
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. ..”
Surah Al-Baqarah: 256
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.”
Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Surah Attin: 4
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. “
Surah Al-Israa’: 70
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Surah Alhujuraat: 11
“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. “
Surah Al-Maa-idah: 2
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Surah Al-Insaan: 8 – 9
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. “
Sila ketiga, Persatuan Indonesia (Kebangsaan)
Surah Alhujuraat:13
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. “
Surah Alhujuraat: 9
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan
yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Surah Alhujuraat: 10
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. “
Surah Annisaa’: 59
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. “
Sila keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Surah Asysyuura: 38
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. “
Surah Almujaadilah:11
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.”
Surah Almujaadilah: 9
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan tentang membuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Dan bicarakanlah tentang membuat kebajikan dan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikembalikan.”
Sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Surah Annahl: 71
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah? “
Surah Al-Imran:180
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka.  Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. “
Surah Al-Furqaan: 67
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. “
Surah Al-Hadiid: 11
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak, “
Surah Adz-dzaariyaat: 19
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian. “
Surah Al-Maa’uun: 1, 2 & 3
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. “
 Jayalah Pancasila,, jayalah Indonesia,,
**Sumber terjemahan Al-Qur’an diambil dari :   Al-Qur’an dan Terjemahnya berbahasa Indonesia terbitan Mujamma’ al Malik Fahd li thiba’at al Mush-haf asy Syarif al-Madinah al-Munawwarah.

Tuesday, 26 January 2010

fatwa-fatwa yang menghebohkan

KERAPKALI kita membaca fatwa-fatwa yang menghebohkan. Beberapa hari lalu, ulama di Malaysia mengharamkan yoga. Sebagian besar ulama Saudi hingga sekarang mengharamkan perempuan untuk menyetir mobil. Beberapa ulama Saudi juga melarang perempuan memakai “bra” karena hal itu bisa menipu laki-laki, seolah-olah dia memiliki payudara yang besar, padahal belum tentu demikian, dan karena itu bisa dianggap sebagai menipu.
Begitu juga perempuan diharaman memakai sepatu dengan hak tinggi, lagi-lagi dengan alasan penipuan: dengan sepatu berhak tinggi, perempuan tampak lebih tinggi dari aslinya, dan itu menipu. Dalam hati saya berkata: kalau diterus-teruskan, perempuan juga dilarang berhias, karena bisa menipu pula — dia tampak lebih cantik dari aslinya, dan itu menipu laki-laki.
April 2007, sebuah fatwa yang menghebohkan muncul dari Mesir. Dr. Ezzat Atiyyah, kepala Jurusan Hadis di Fakultas Usuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo, berpendapat bahwa seorang karyawan yang bekerja di ruangan tertutup dan berduaan dengan seorang karyawati lain yang bukan “mahram”, boleh menetek dari perempuan itu untuk menghindari larangan khalwat. Dengan menetek dari perempuan itu, karyawan tersebut berubah status menjadi seorang anak dari perempuan tersebut, dan dengan demikian keduanya boleh ber-khalwat.
Fatwa ini didasarkan kepada sebuah hadis yang sahih. Orang-orang terperangah mendengar fatwa itu. Akibat fatwa ini, Dr. Ezzat dipecat oleh pihak universitas Al-Azhar, karena dalam penilaian yang terakhir itu, fatwa tersebut menyebabkan kebingungan dalam masyarakat, dan menjadikan Islam sebagai bahan olok-olok di mata orang luar Islam.
Di Indonesia sendiri, sejumlah fatwa heboh juga kerapkali kita jumpai dari waktu ke waktu. Hingga sekarang, Majlis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, mengharamkan seorang Muslim mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen.
BAGAIMANA kita, sebagai umat Islam, menghadapi fatwa-fatwa heboh seperti ini? Pertama-tama, yang harus dipahami oleh umat Islam, dan juga umat lain yang hendak memahami dinamika internal dalam umat Islam, apa yang disebut sebagai fatwa bukanlah semacam surat ensiklik dari Vatikan yang harus ditaati oleh seluruh umat.
Berbeda dengan agama Katolik, Islam tidak mengenal lembaga klerikal yang terpusat yang menentukan kata putus dalam segala hal yang berurusan dengan soal agama. Dalam Islam tak dikenal lembaga terpusat yang bisa memaksakan satu pendapat kepada seluruh umat. Sebuah fatwa, meskipun dikeluarkan oleh ratusan atau (bahkan) ribuan ulama, tetap saja hanyalah sebuah pendapat saja. Umat boleh mengikuti, boleh pula mengabaikan. Sebuah fatwa bisa ditentang oleh fatwa lain.
Dalam hal ini, Islam lebih mirip dengan agama Protestan, meskipun tidak seluruhnya persis. Baik dalam Islam dan Protestan tak dikenal lembaga terpusat yang bisa menjadi otoritas terakhir yang memutus segala hal berkenaan dengan agama dan keputusan itu mengikat umat.
Setiap tahun, ratusan, bahkan ribuan fatwa, muncul dari ulama di berbagai belahan dunia Islam. Ada fatwa yang resmi, ada fatwa “partikulir”. Ada fatwa kolektif, ada fatwa individual. Umumnya fatwa-fatwa itu tidak menarik perhatian publik karena tidak mengenai masalah yang sensitif dan tidak diliput oleh media. Ada kecenderungan dalam umat Islam untuk selalu bertanya kepada seorang ulama tentang status hukum semua hal yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Istilah fatwa tentu mempunyai batasan, sehingga tidak bisa diterapkan kepada semua jenis pendapat. Fatwa biasanya dipakai untuk menyebut sebuah pendapat yang berkenaan dengan status hukum suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang Muslim. Oleh karena itu, fatwa umumnya dipakai dalam konteks pendapat yang berkenaan dengan hukum Islam atau fikih. Dengan demikian, pendapat seorang sarjana filsafat Islam tentang suatu isu tertentu dalam disiplin filsafat Islam tidak bisa disebut sebagai fatwa dalam pengertian yang “teknis” dari istilah itu.
Bagaimana sebuah fatwa lahir? Prosesnya sangat sederhana, meskipun dalam praktek tentu tidak sesederhana seperti saya gambarkan ini. Fatwa lahir melalui proses berikut ini. Jika seorang ulama ditanya, apa kata hukum Islam mengenai kasus A atau B, dia akan mencari teks atau ketentuan dalam Quran atau hadis yang berkenaan dengan kasus itu. Jika terdapat jawaban dalam kedua sumber itu, maka biasanya dia akan memakai ketetapan yang ada.
Jika ada kasus yang baru sama sekali sehingga tak ada keterangan apapun mengenainya baik dalam Quran atau hadis, maka proses yang biasa dilakukan oleh seorang mufti atau ulama pembuat fatwa adalah ber-ijtihad atau menalar. Ada banyak prosedur dalam ijtihad yang tak usah saya sebutkan di sini. Sebagian besar kasus yang muncul saat ini tidak ada ketentuannya dalam Quran dan sunnah, sehingga ulama harus melakukan ijtihad sendiri untuk menentukan hukumnya.
Contoh yang sangat baik adalah masalah yoga yang diharamkan oleh para ulama dari Malaysia itu. Jelas dalam Quran dan sunnah tak ada ketentuan yang eksplisit tentang haramnya yoga. Jika pada akhirnya ulama Malaysia memutuskan bahwa yoga haram dipraktekkan oleh umat Islam, maka pendapat itu adalah hasil penalaran ulama sendiri. Tentu bukan penalaran yang bergerak bebas; sudah tentu para ulama itu mendasarkan penalarannya atas ketentuan-ketentuan umum dalam Quran dan sunnah.
Tetapi ulama yang lain, dengan memakai ketentuan-ketentuan umum serupa, bisa datang dengan pendapat lain yang berbeda. Bukan saja itu, ulama yang sama bisa memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam soal yang sama. Ini bisa kita baca dalam buku-buku fikih perbandingan mazhab di mana sering kita jumpai pendapat yang berbeda-beda dari Imam Syafii (pendiri mazhab Syafii yang banyak diikuti di Asia Tenggara) atau Imam Malik (pendiri mazhab Maliki yang banyak diikuti di Afrika Utara) mengenai masalah yang sama.
Meskipun para ulama fikih mengatakan bahwa ijtihad dalam Islam diikat oleh metode dan prosedur tertentu yang kurang lebih baku, tetapi jelas hasil ijtihad seorang ulama sangat ditentukan oleh banyak faktor, termasuk faktor-faktor di luar pertimbangan agama. “Mind-set“, paradigma berpikir dan kecenderungan intelektual ulama bersangkutan juga menentukan hasil akhir dari suatu ijtihad. Bahkan latar belakang sosial-budaya dari ulama itu juga ikut mewarnai proses berijtihad yang ia lakukan.
Jangan pula dilupakan, kedudukan sosial ulama juga ikut mewarnai pendapat dan fatwa seseorang. Ulama yang berada dan dekat dengan kekuasaan boleh jadi mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan ulama yang ada di luar atau malah anti-kekuasaan.
Kelemahan praktek ijtihad yang berlangsung di kalangan ulama Islam selama ini adalah bahwa seolah-olah proses ijithad melulu dituntun dan dikendalikan oleh metode ijtihad yang ada, tanpa adanya pengaruh eksternal; seolah-olah seorang ulama adalah subyek otonom yang berada di luar jejaring kepentingan sosial yang bekerja dalam masyarakat.
Menurut saya, asumsi seperti ini berbahaya karena mengandaikan ulama tidak mewakili kepentingan kelompok sosial tertentu; seolah-olah ulama adalah mewakili “suara Tuhan” yang berada di atas semua kepentingan sosial yang ada.
Dengan melihat proses fatwa seperti itu, saya berharap kita bisa menempatkan fatwa secara proporsional. Apa yang disebut sebagai fatwa adalah tak lebih dari “legal opinion“, pendapat hukum. Fatwa mengenai kasus tertentu tidak berarti langsung menjadi kata pamungkas dalam kasus tersebut, sebab ulama atau sarjana lain bisa memiliki pendapat yang berbeda.
Keadaannya persis seperti saat anda datang ke dokter lalu meminta pendapatnya tentang suatu penyakit yang anda derita. Pendapat dokter tersebut tentu bukanlah kata akhir, sebab anda bisa datang ke dokter lain untuk meminta “pendapat kedua”, atau malah ketiga, keempat, dan seterusnya. Makin banyak informasi yang anda punyai tentang penyakit yang anda derita, makin baik. Meskipun anda bisa saja memutuskan untuk percaya saja pada pendapat dari dokter pertama.
ISU yang penting untuk saya tekankan di sini adalah bahwa “konsumen” juga memiliki haknya sendiri untuk menimbang-nimbang sebuah pendapat yang ia peroleh, entah dari seorang dokter atau seorang ulama. Aspek peranan “konsumen” inilah yang menurut saya kurang banyak dilihat dalam studi mengenai fatwa selama ini. Ada semacam asumsi bahwa begitu fatwa dikeluarkan oleh seorang ulama atau lembaga tertentu, maka dengan sendirinya umat akan mengikuti saja fatwa itu. Umat diandaikan sebagai obyek pasif yang harus menaati saja kata ulama, sebab apa yang dikatakan oleh ulama adalah kelanjutan saja dari “firman Tuhan”.
Ketika geraja Vatikan mengeluarkan larangan untuk memakai kondom, belum tentu larangan itu diikuti oleh umatnya, dan belum tentu juga semua umat Katolik sepakat bahwa larangan itu masuk akal dan sesuai dengan ajaran Alkitab.
Hal serupa juga terjadi dalam tubuh umat Islam. Karena sebuah fatwa bukanlah hukum yang mengikat, dan oleh karena sebuah fatwa juga bukan merupakan kata putus dalam sebuah kasus, maka fatwa tidak bisa kita jadikan sebagai semacam indeks untuk melihat dan membaca kecenderungan prilaku umat. Umat bisa saja menanggapi fatwa tertentu secara skeptis karena dianggap tidak masuk akal.
Contoh terbaik adalah soal bunga bank. Meskipun MUI mengatakan bahwa bunga bank haram, tetapi banyak umat Islam yang tidak mengikuti fatwa itu. Mereka tidak mengikuti fatwa itu buka karena tak tahu atau tahu tetapi tak mau mengikuti. Mereka “membangkang” terhadap fatwa MUI itu sebab ada ulama lain yang berpendapat bahwa bunga bank seperti dipraktekkan oleh perbankan modern tidaklah masuk dalam kategori riba yang dilarang oleh agama.
Dengan kata lain, umat bukanlah obyek pasif yang menerima fatwa apa adanya tanpa berpikir kritis. Tantangan umat Islam ke depan adalah bagaimana terus-menerus memberdayakan umat, bukan saja secara ekonomi (itu juga penting), tetapi juga dalam aspek berpikir sehingga daya kritis mereka terus meningkat dan dengan demikian dapat menilai fatwa-fatwa ulama secara lebih jeli dan hati-hati. Pendapat ulama jelas bukan pendapat suci yang tak bisa “diinterogasi” secara kritis.
Tidak semua orang kompeten untuk mengeluarkan sebuah fatwa. Tetapi setiap orang berhak menilai apakah sebuah fatwa masuk akal atau tidak, apalagi jika fatwa itu menyangkut kehidupan masyarakat banyak. Keadaanya tidak beda dengan produk hukum sekuler biasa: anda tak perlu menjadi sarjana hukum untuk menilai apakah suatu produk hukum tertentu masuk akal atau tidak. Begitu juga, anda tak perlu menjadi seorang ahli hukum Islam untuk menilai apakah sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh ulama atau lembaga ulama tertentu masuk akal atau tidak.
Jangan terkecoh dengan sebuah fatwa yang mengandung catatan kaki panjang yang memuat puluhan ayat atau hadis. Contoh yang sangat bagus adalah pendapat Ibn Taymiyah yang sudah saya tulis dalam “note” terdahulu. Berdasarkan sebuah hadis tertentu yang sangat sahih, Ibn Taymiyah mengatakan bahwa dalam Islam bangsa Arab mempunyai bangsa yang lebih unggul ketimbang bangsa lain. Bagi Ibn Taymiyah, itulah doktrin Sunni. Pendapat Ibn Taymiyah itu, walaupun disokong oleh ratusan hadis sekalipun, jelas tak masuk akal, dan “counter intuitive“.
Dengan kata lain, cara terbaik yang dapat membantu orang-orang awam di bidang hukum Islam untuk menilai sebuah fatwa adalah akal sehat. Itulah modal mental paling berharga yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Dengan akal sehat, anda bisa menilai sendiri apakah fatwa tentang haramnya mengucapkan selamat natal atau yoga masuk akal atau tidak. Sudah tentu, dengan akal sehat, orang bisa sampai pada pendapat yang berbeda-beda. Itu hal yang lumrah saja. Perbedaan adalah hal yang biasa dan tentu alamiah. Tinggal bagaimana kita mengelola perbedaan itu secara sehat.

Monday, 25 January 2010

Kritik atas Hizbut Tahrir!! jangan biarkan NKRI di obrak- abrik

Teman-teman yang akrab dengan studi Islam yang dikembangkan oleh orientalis di dunia akademia Barat sudah tentu mengenal teori proyeksi yang dikembangkan mula-mula oleh Ignaz Goldziher, diteruskan oleh Joseph Schacht, dan kemudian diradikalkan lagi dalam studi Quran oleh John Wansbrough.
Inti teori ini adalah bahwa banyak hadis sebetulnya muncul dan “dibuat” belakangan sebagai bagian dari debat-debat di kalangan ahli fikih perdana, kemudian dinisbahkan ke belakang (projected back) kepada Nabi. Kasus kongkretnya adalah: misalkan saja seorang ahli fikih sedang berdebat tentang suatu hukum. Lalu ia “menciptakan” sebuah hadis guna memberikan legitimasi dan otoritas pada pedapatnya itu, dan menisbahan hadis “buatan”-nya itu kepada Nabi.
Praktek “membuat hadis” palsu sangat luas terjadi dalam sejarah Islam perdana, terutama di kalangan para “da’i” dan penceramah yang disebut “al-qash-shash“. Agar ceramahnya menarik perhatian umat dan diperhatikan, seorang qash-shash sengaja menciptakan sebuah hadis dan dinisbahkan kepada Nabi.
Taha Husain di tahun 30an pernah menerbitkan sebuah buku, “Fi al-Shi’r al-Jahili” yang kontroversial yang berisi studi kritis atas syair-syair Arab pra -Islam. Menurut studi dia, banyak syair Arab yang selama ini dianggap sebagai syair pra-Islam atau jahiliyyah, sejatinya dibuat jauh setelah Islam datang sebagai bagian dari tradisi eksegesis atau penafsiran Quran.
Sebagaimana kita tahu, salah satu metode tafsir yang berkembang pada fase awal adalah dengan cara menerangkan sejumlah kosa-kata yang artinya ambigu dalam Quran dengan merujuk kepada syair-syair pra-Islam. Menurut Taha Husain, syair-syair ini diciptakan belakangan lalu diproyeksikan ke belakang, yakni ke masa jahiliyyah.
Teori proyeksi ini memang tidak bisa sepenuhnya dibuktikan secara ilmiah, meskipun tidak bisa ditolak begitu saja. Kalangan sarjana Islam umumnya menolak teori ini “outright” dengan mengatakan bahwa ini bagian dari konspirasi kaum orientalis untuk menghancurkan otoritas hadis sebagai landasan hukum dalam Islam. Reaksi semacam ini tentu bisa dimaklumi.
Studi kesarjanaan di Barat memang tidak dibebani oleh pretensi iman, sehingga kesimpulan mereka bisa saja menabrak doktrin agama yang telah mapan. Keberatan semacam ini bukan saja datang dari kalangan Islam, tetapi juga dari kalangan Kristen yang memprotes studi-studi para sarjana Barat sendiri mengenai Bibel yang menghasilkan kesimpulan yang bertentangan dengan doktrin yang ada dalam Kristen.
Tetapi, teori proyeksi ini membantu kita dalam memahami beberapa hadis secara lebih proporsional.
BARU-baru ini, saya membaca kembali buku-buku yang ditulis oleh Taqiyyuddin al-Nabhani, pendiri gerakan Hizbut Tahrir. Ada dua buku karangan Nabhani yang menarik perhatian saya. Yang pertama berjudul “Al-Khilafah” (Kekhilafahan), yang kedua “Al-Dawlah al-Islamiyyah” (Negara Islam). Dalam dua buku itu, Nabhani mencoba mengemukakan beberapa argumen tentang keharusan agama untuk mendirikan sistem “khilafah”. Salah satu argumen yang ia pakai adalah sejumlah hadis berikut ini:
1. Hadis riwayat Nafi’ dari ‘Umar, Nabi SAW bersabda: “Man khala’a yadan min tha’at al-Lahi laqiya al-Laha yawm al-qiyamati la hujjata lahu. Wa man mata wa laysa fi ‘unuqihi bai’atun mata maytatan jahiliyyatan“.
Artinya: Barangsiapa melepaskan diri dari ketaatan kepada Allah, maka ia akan bertemu dengan Allah di hari kiamat dalam keadaan bungkam/tak memiliki argumentasi apapun. Barangsiapa meninggal dalam keadaan tak berbai’at (kepada seorang imam), maka ia akan mati secara jahiliyyah (mati dalam keadaan kafir).
2. Hadis riwayat Hisyam b. ‘Urwah dari Abi Shalih dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda: “Sayalikum ba’di wulatun fayalikum al-barru bi birrihi wa al-fajiru bi fujurihi fa-sma’u lahum wa athi’u fi kulli ma wafaqa al-haqqa, fa in ahsanu fa lakum wa in asa’u fa lakum wa ‘alaihim.”
Artinya: Setelah aku meninggal, kalian akan diperintah oleh penguasa yang baik dengan kebaikannya dan penguasa yang jahat dengan kejahatannya. Kalian harus patuh mendengarkan dan menaati mereka dalam hal-hal yang sesuai dengan kebenaran. Jika mereka berbuat baik, maka kebaikan itu akan berguna buat kalian. Tetapi jika mereka berbuat jahat, kalian tak rugi apa-apa, sebaliknya yang rugi adalah mereka sendiri.
3. Riwayat Muslim dari Abu Hazim, ia berkata: “Selama lima tahun aku bersahabat dengan Abu Hurairah dan aku pernah mendengarnya menceritakan sebuah hadis dari Nabi, “Kanat banu Isra’ila tasusuhum al-anbiya’ kullama halaka nabiyyun khalafahu nabiyyun, wa innahu la nabiyya ba’di, wa satakunu khulafa’u fa taktsuru.” Qalu: Fama ta’muruna? Qala, “Fu bi bai’at al-awwali fa al-awwali wa a’thuhum haqqahum fi inna l-Laha sa’iluhum ‘amma istar’ahum.”
Artinya: Bangsa Israel dulu diperintah oleh para nabi; setiap satu nabi meninggal, maka nabi lain akan menggantikannya. Sementara itu tak ada nabi lagi sepeninggalku, yang ada hanyalah para khulafa’/pengganti, dan mereka akan banyak jumlahnya. Para sahabat bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepada kami untuk menghadapi mereka. Nabi berkata: Berikanlah dan penuhilah ba’iat kalian kepada khalifah pertama, lalu yang berikutnya, dan seterusnya. Berikanlah hak mereka, sebab Allah akan meminta pertanggungjawaban kelak mengenai segala hal yang menjadi tanggung-jawab mereka.
Ada beberapa hadis lain yang dipakai oleh Nabhani sebagai dasar argumentasi mengenai keharusan menegakkan sistem khilafah menurut Islam. Isinya hampir serupa. Saya sengaja memilih tiga hadis ini sebagai contoh saja. Ketiga hadis di atas masuk dalam kategori yang ingin saya sebut “hadis-hadis politik”.
Marilah kita telaah tiga hadis di atas.
Hal pertama yang menarik perhatian saya adalah: kalau kita telaah literatur sejarah yang merekam perdebatan awal mengenai kekhilafahan paska Nabi (misalnya karya Ibn Qutaybah [w. 276 H/889 M], “Al-Imamah wa al-Siyasah“), tak satupun hadis-hadis politik yang sering kita dengar selama ini, termasuk tiga hadis di atas, disebut-sebut dan dikutip oleh sahabat sebagai dasar argumentasi, terutama pada fase genting saat mereka berdebat mengenai siapa yang akan menjadi penguasa baru sepeninggal Nabi.
Bahkan hadis yang sangat terkenal, “Al-a’immatu min quraisyin” (penguasa [haruslah] datang dari suku Quraisy”, tidak pernah dikutip oleh Abu Bakar saat dia berdebat dengan sahabat-sahabat Anshar di rumah Bani Sa’idah persis setelah Nabi wafat. Jika hadis itu memang benar-benar ada sejak dari awal, kenapa Abu Bakar tidak mengutipnya? Hadis ini dengan gampang akan menyelesaikan perdebatan, dan Abu Bakar tak harus susah-susah mencari argumen yang “njlimet” untuk mendukung pendapatnya bahwa yang berhak menjadi pengganti Nabi adalah suku Quraish.
Jika dia sendiri tak tahu mengenai hadis itu, dan sahabat lain tahu, tentu sahabat itu akan memberi tahu Abu Bakar. Mengandaikan bahwa sahabat yang lain tahu mengenai hadis tersebut tetapi menyembunyikannya dengan motif politik tertentu jelas tak sesuai dengan “konstruksi doktrinal” dalam kalangan Sunni sendiri di mana sahabat dianggap sebagai manusia-manusia adil yang tak akan berbohong.
Yang menarik, hadis-hadis politik itu muncul dan beredar di masyarakat jauh setelah khalifah empat (al-khulafa’ al-rashidun) berlalu. Hadis-hadis ini muncul setelah sarjana Islam mulai menulis literatur yang sering disebut sebagai “fiqh al-Siyasah” atau fikih politik.
Salah satu penulis penting di bidang ini adalah Abu al-Hasan ‘Ali al-Mawardi (w. 450 H/1058 M), seorang juris penting dari lingkungan mazhab Syafii. Sebagaimana kita tahu, al-Mawardi hidup kira-kira empat abad lebih sepeninggal Nabi. Al-Mawardi hidup pada masa dinasti Abbasiyah, terutama pada fae awal saat imperium ini berada di tangan orang-orang Saljuk. Oleh beberapa sarjana, buku al-Mawardi yang terkenal, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, dianggap sebagai semacam cara untuk memberikan legitimasi pada dinasti Abbasiyah berhadapan dengan lawan-lawannya, seperti dinasti Fatimiyyah di Mesir.
Observasi lain yang relavan mengenai hadis-hadis “politik” adalah sebagai berikut: kenapa hadis-hadis ditu cocok dan pas benar dengan kondisi politik yang berkembang pada era kedinastian Islam?
Marilah kita lihat hadis yang pertama. Hadis itu berbicara mengenai dua model penguasa: penguasa yang adil (al-barr) dan penguasa tiran (al-fajir). Yang menarik, Nabi memerintahkan umat Islam untuk taat kepada seorang penguasa, tak peduli apakah mereka adil atau tiran, sebagaimana terbaca dalam hadis yang kedua.
Yang lebih mengagetkan adalah sabda Nabi berikut ini, “Fa in ahsanu falakum wa in asa’u falakum wa ‘alaihim“. Sesuai dengan sabda ini, jika seorang penguasa bertindak adil, maka yang diuntungkan adalah rakyat; jika penguasa bertindak lalim, maka rakyat tak dirugikan apapun; kelaliman itu hanya merugikan penguasa bersangkutan.
Saya nyaris tak percaya bahwa Nabi mengeluarkan statemen seperti ini. Bagaimana mungkin penguasa yang tiran tidak merugikan rakyat? Apakah masuk akal Nabi mengeluarkan statemen seperti ini?
Jika hadis ini memang benar-benar pernah diucapkan oleh Nabi, kenapa beberapa sahabat memberontak pada Usman, khalifah ketiga, saat ia dituduh mempraktekkan kebijakan-kebijakan yang “nepotistik” dan meresahkan banyak masyarakat, hingga akhirnya dia terbunuh? Apakah sahabat melanggar perintah Nabi untuk tunduk pada penguasa, baik penguasa adil ataupun jahat?
Kontradiksi-kontradiksi historis semacam ini tidak pernah dijawab secara memuaskan dalam literatur fikih siyasah, dan sebaliknya ditutup rapat-rapat melalui doktrin “al-shahabi ‘udul“, para sahabat adalah adil. Pokoknya diandaikan saja bahwa generasi sahabat pasti benar, tak mungkin mereka berbuat salah. Kalau pun mereka berbuat sesuatu yang tampaknya salah, itu adalah hasil ijtihad mereka. Ijtihad yang salah tetap mendapat pahala. Solusi semacam ini hanyalah melarikan diri dari masalah, bukan menghadapinya dengan “jantan”.
Hadis ketiga lebih menarik lagi. Di sana kita temukan suatu kesejajaran antara nabi dengan khalifah. Khalifah pada masa Islam sama kedudukannya dengan nabi-nabi pada bangsa Israel. Karena tak ada nabi lagi sepeninggal Nabi Muhammad, maka yang muncul sebagai “penguasa” yang melanjutkan misi Nabi adalah para khalifah. Oleh karena itu, seperti kita baca dalam penutup hadis itu, umat Islam diperintahkan untuk memberikan hak kepada para khalifah itu. Yang disebut dengan hak di sini adalah ketaatan.
Sekali lagi, hadis ini tak pernah diungkit-ungkit saat terjadi pembangkangan atas Usman, dan juga Ali, khalifah keempat.
Apa kesimpulan yang hendak saya capai dengan observasi ini? Saya menduga dengan kuat, bahwa hadis-hadis politik ini adalah hadis palsu yang “diciptakan” belakangan untuk menjustifikasi penguasa-penguasa dalam dinasti Islam. Sebagaimana kita tahu, banyak sekali khalifah Islam yang bertindak tiranik dan despotik. Hadis-hadis politik ini jelas menguntungkan mereka secara politik, sebab menekankan ketaatan rakyat, walaupun seorang penguasa menempuh kebijakan yang tak menguntungkan mereka.
Saya hampir tak bisa percaya bahwa Nabi mengatakan bawa seorang penguasa yang zalim tak membawa kerugian apa-apa bagi rakyat. Hadis semacam ini kemungkinan besar dibuat belakangan dan “dinisbahkan” atau “diproyeksikan” ke belakang sebagai sabda Nabi.
Verifikasi hadis hanya dengan metode sanad atau mata rantai transmisi sebagaimana selamaini ditempuh oleh kesarjanaan Islam tradisional sama sekali tak memadai. Metode proyeksi ini membantu kita untuk melakukan verifikasi dengan metode non-sanad.
Sebetulnya metode ini sudah dibuka kemungkinannya dalam studi hadis sendiri. Sebagaimana kita tahu, dalam studi ilmu-ilmu hadis (mushthalah al-hadith) kita kenal dua metode kritik (naqd), yaitu kritik sanad dan kritik matan atau teks hadis. Kritik sanad sudah dikembangkan dengan canggih oleh sarjana Islam, tetapi kritik matan kurang banyak dicoba. Metode proyeksi bisa masuk dalam kritik matan itu.
Wa ‘l-Lahu a’lam bi al-shawab.

( mas ulil abshar abdalla)

Sunday, 24 January 2010

NKRI bubar 2015?


Inilah artikel yang menarik. Tapi kalau melihat adanya suatu upaya sistemik untuk memecah belah kita (ingat divide et imoera jadoel) melalui isu agama, melihat kondisi masyarakat islam Indonesia yang semakin fanatik buta, munculnya berbagai produk perundangan yang telah "memperkosa" keluhuran PANCASILA sebagai lambang supremasi tertinggi NKRI, maraknya aksi teorisme yang dinobatkan sebagai pahlawan, maka dari semua gejala ini, bukan tidak mungkin NKRI memang akan bubar. Tapi saya pribadi yakin, NKRI akan tetap JAYA !! BENDE MATARAM !!

--------------------------
-------


DJUYOTO SUNTANI, Presiden Komite Perdamaian Dunia (World Peace Committee), adalah seorang putra Indonesia, meramalkan Indonesia pecah tahun 2015. Djuyoto menganggap pemusnahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bagian dari skenario internasional, yang ia sebut dengan Invisible Organization lluminati. Institusi kemasyarakatan internasional yang dipimpinnya saat ini, memiliki jaringan di seluruh dunia dan mempunyai pengaruh kuat pada dunia internasional.

Tidak seorangpun mengira negara Uni Soviet yang merupakan negara super power dapat pecah dan musnah dalam sekejap. Negara yang dulunya disegani dan menjadi tumpuan kekuatan Fakta Pertahanan Warsawa di Eropa tersebut, di awal tahun 1990 akhirnya terpecah menjadi 15 negara merdeka. Demikian juga negara Yugoslavia yang pada akhirnya terpecah menjadi lima negara. Perang etnis dan pembantaian di wilayah eks Yugoslavia itu merupakan tragedi kemanusian yang paling sadis yang pernah terjadi pasca perang dunia II. Meskipun Penduduknya memiliki bahasa dan ras yang sama, struktur fisik dan wajah sama, hal itu tidak dapat menjadikan jaminan bahwa perpecahan tidak akan terjadi di negara itu. Agama merupakan faktor utama terjadinya perpecahan di sana, meskipun diakui bahwa semua agama yang ada berasal dari satu nabi yang sama Ibrahim (versi Islam) Abraham (versi Kristen) dan Avram (versi Yahudi) yang lahir di Babilonia (Irak sekarang).


Lahirnya NKRI yang diproklamirkan tahun 1945 (abad 20 masehi) pada prinsipnya merupakan persatuan III (ketiga) dari seluruh kesatuan di bumi nusantara ini. Dalam sejarah, di wilayah nusantara sudah pernah ada dua kekuatan imperium besar yang pernah mengalami kejayaan pada masanya. Tercatat dalam sejarah persatuan pertama terjadi pada masa Kerajaan Sriwijaya di Palembang, Sumatera Selatan (Abad 6 sampai 7 Masehi). Persatuan kedua pada masa Kerajaan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur (13 hingga 14 Masehi) yang pernah mengalami suatu masa yang disebut gemah ripah loh jinawi. Kedua imperium itu kemudian lenyap dari muka bumi setelah bertahan 70 tahun.

Memasuki usia 63 tahun, NKRI telah banyak mengalami kejadian yang merupakan ujian terhadap kekuatan ikatan kebangsaan yang mempersatukan keberagaman kita, yang disebut dengan nasionalisme. Sejarah mencatat bagaimana keadaan bangsa ini di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno pada masa orde lama, dengan sistem politik multi partai saat itu hingga ke demokrasi terpimpin. Demikian juga di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada masa orde baru dengan sistem politik yang lebih sederhana dan demokrasi Pancasilanya. Selanjutnya, memasuki orde reformasi di masa kepemimpinan tiga orang presiden dengan masing-masing masa pemerintahan seumur jagung hingga masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang akan berakhir tahun 2009 nanti.

Secara keseluruhan pergantian dari orde ke orde berikutnya selalu diawali dengan unjuk rasa atau juga diwarnai pemberontakan. Unjuk rasa yang dilakukan rakyat dan mahasiswa atau pun pemberontakan yang dilakukan oleh separatis, merupakan ungkapan ketidakpuasan terhadap kepemimpinan pemerintah yang berkuasa yang dianggap tidak memihak kepada kepentingan rakyat, serta tak mampu mengatasi persoalan kesulitan hidup dan kemiskinan yang diderita oleh rakyat. Tentu tidak kita harapkan bahwa perjalanan bangsa ini akan tercatat dalam sejarah sebagai ”Republik Indonesia, Jakarta (Abad 20 sampai 21)”.

Krisis Energi dan Pemiskinan
Hasil kajian mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat William Cohen dengan tim 15-nya patut kita cermati. Kajian dengan klasifikasi not for distribute yang berjudul lengkap ”Asia Tahun 2025 dan Pengaruhnya terhadap Keamanan Nasional Amerika di Abad 21”, dengan tegas memprediksi sesungguhnya menskenariokan bahwa Indonesia dan Pakistan akan hilang dari peta bumi disebabkan negara-negara itu berfusi melalui proses aliansi antar negara atau tercabik-cabik akibat pertikaian dan perperangan antar daerah. Lebih rinci tentang Indonesia dikatakan, sebab lenyapnya Indonesia lebih dikarenakan terjadi krisis yang bukannya mengecil namun kian tahun kian bertambah besar. Benarkah kajian ini hanya sebatas kajian visioner ataukah visi yang akan diwujudkan oleh jaringan internasional terhadap NKRI?

Krisis energi dan pangan memang merupakan persoalan dunia. Namun, untuk Indonesia yang kaya sumber daya alam (SDA), rasanya krisis tersebut seperti kontradiktif. Gaya pemerintahan yang takut dikatakan tidak berbuat dan berpikir singkat telah membuat negara ini terperangkap dalam globalisasi ekonomi dunia. Pasar bebas dunia yang tidak lain adalah liberalisasi ekonomi, telah memperdaya sumber daya ekonomi nasional kita.

Krisis energi yang berdampak pada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) telah menimbulkan banyak persoalan. Naiknya harga BBM tersebut telah memicu kenaikan bahan kebutuhan pokok lainnya. Kenaikan harga BBM kedua selama pemerintahan SBY telah menciptakan jutaan orang miskin baru di negara ini. Tidak heran kita lihat melalui media, bahwa semakin banyak masyarakat stres hingga terpaksa bunuh diri ataupun bunuh anak sendiri karena tak mampu menanggung biaya hidup yang samakin mahal. Di lain hal para wakil rakyat banyak yang tertangkap korupsi sampai nikmati sekretaris pribadi. Ironinya, saat menterinya hidup makmur saat rakyat terendam lumpur, KPK tidak berbuat apa-apa. Unjuk rasa belakangan ini juga telah mengembalikan memori kita kepada masa awal peralihan ke orde baru, di mana rakyat saat itu juga menuntut kesejahteraan rakyat kepada pemerintah melalui tiga tuntutan rakyat atau apa yang dinamakan dengan Tri Tura.

Dalam kondisi SDA Indonesia dikuasai pihak asing, sangat sulit memastikan bahwa pemerintah sekarang ini dapat mengatasi krisis energi yang sedang berlangsung. Penguasaan asing terhadap SDA, sarana vital serta Badan Usaha Milik Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak di negara ini, terlihat bagaikan perangkap yang dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan pemerintahan dan negara ini.

Krisis energi yang berkepanjangan dan dampak turunan yang ditimbulkannya, semakin terlihat bagaikan upaya pemiskinan sistematik yang sedang berlangsung. Hal ini semakin membuat rakyat gelisah dan menumpuk ketidakpercayaan terhadap pemerintahan yang berkuasa. Mungkinkah posisi negara ini sudah berada pada status on the track skenario pemusnahan NKRI dari muka bumi ini, sebagaimana dinyatakan Presiden World Peace Committee yang dituding aktornya adalah Invisible Organization lluminati?

Pemilu 2009 dengan sistem multi partai akan menjadi perhatian bersama. Dengan 34 parpol yang ada, bukan tidak mungkin terjadi kerusuhan akibat gesekan kepentingan politik masing-masing partai. Dan ini menjadi barometer sampai sejauh mana kedewasaan berpolitik bangsa Indonesia.

Oleh: Ir M Jamil Manurung
Direktur Lembaga Survei dan Pemberdayaan Masyarakat (LSPM) Kepri
Studi Kasus Krisis Energi dan Pemiskinan

Saturday, 23 January 2010

NKRI di manipulasi!!!


Beberapa saat yang lalu saya membaca satu artikel yang bersumber dari Reuters berjudul “ Dunia belum sadari risiko perubahan iklim”
[POZNAN] Kepala urusan iklim PBB Rajendra Pachauri, mengatakan, saat ini masyarakat dunia masih belum sadar benar terhadap resiko dari dampak perubahan iklim yang bisa membahayakan…Dia menyebutkan, jumlah penduduk dunia yang hidup di dataran rendah akan mengalami krisis air bersih semakin mengkhawatirkan dari tahun ke tahun. Jika tahun 1995 jumlah penduduk dunia yang krisis air sebanyak 1,1 miliar orang, maka tahun 2050 jumlah diperkirakan naik menjadi 4.3 miliar [AFP/Ant/Reuters/E-7]

Weew…ini adalah data yang sangat valid. Man !! 4.3 miliar dude !!! itu lebih dari 2/3 penduduk dunia. Mungkin kita berfikir, aahh itu masih lama, mungkin saya sudah mati. Apakah kita melupakan anak cucu kita ?

Indonesia adalah satu dari negara terkaya sumber daya alamnya terutama air bersihnya dan pada tahun 2050 tetap akan eksis. Manusia bisa bertahan cukup lama tanpa makanan, tapi tanpa air bersih ?? NO WAY !!! Orang boleh kaya dengan petro dollar, orang boleh maju dengan teknologi, orang boleh punya cadangan emas, tapi semua tidak akan berguna kalau yang mau dibeli dengan emas/uang itu atau mau diolah dengan teknologi tersebut TIDAK ADA.

Hhmm…data yang sangat akurat untuk dijadikan sebagai motif menguasai satu negara yang dapat memenuhi kebutuhan suatu negara yang miskin sumber daya alamnya dan yang paling memungkinkan terancam resiko paling besar kehabisan air bersih. Penjajahan dengan senjata sudah tidak populer lagi saat ini. Penjajahan paling efektif adalah melalui dogma agama karena selama sejarah peradaban manusia agama adalah alat yang paling ampuh untuk dijadikan sebagai alat pemecah belah. Jadi, kalau ingin megambil alih suatu bangsa, pecah belah mereka. Buat masyarakatnya menjadi sangat fanatik, lalu hasut mereka dengan isu agama. Kalau mau mengambil seluruh kekayaan alam Indonesia termasuk air bersihnya, buat masyarakatnya terus menerus dalam keadaan konflik. Mulai dari konflik kecil, lalu tambahkan terus isu sehingga mayarakatnya sendiri yang meminta untuk memisahkan diri. Setelah itu, selamat tinggal NKRI. Dan mereka yang punya kepentingan dari semua konflik yang terjadi, mari kita bagi-bagi kue. Apakah ini terlalu berlebihan atau paranoid ? silahkan kembali liat sejarah kita dulu, silahkan liat artikel yang saya post. (baca juga NKRI bubar tahun 2015 ?)

Yaahh…data ini semoga membuat kita semua mampu membuka mata kita lebar untuk melihat benang merah yang terjadi di negara kita. Ada apa dibalik setiap konflik yang muncul atas nama agama, mengapa preman-preman berjubah tetap dipelihara, partai-partai yang menjadikan islam sebagai komoditi dan menelorkan produk-produk hanya untuk satu golongan dalam agama islam namun diberlakukan untuk seluruh masyarakat Indonesia seolah di Indonesia hanya ada satu golongan saja (saya mengatakan satu golongan dalam islam karena saya sebagai orang islam tidak merasa terwakili dengan produk partai itu), ujung-ujungnya kita fanatik buta sama arab seolah arab adalah islam, sampai-sampai orang sumatera yang terkenal sangat susah melepaskan tanahnya untuk dijual ternyata mereka begitu mudahnya melepas tanah mereka ratusan ribu hektar untuk arab.

Well, mari terus belajar pada sejarah. Kita tentu saja tidak mengingingkan lagi menjadi warga kelas dua di kampung kita sendiri. Kita tidak mau mengalami nasib serupa dengan warga papua yang kekayaan alamnya begitu melimpah tapi mereka sendiri sebagai penduduk asli hidup melarat. Bangkit sekarang juga untuk melawan. Tidak perlu takut atau berpikir bahwa kita hanya rakyat kecil maka suara kita takkan didengarkan. Saya pun hanya rakyat biasa, seorang karyawan biasa di perusahaan swasta. Tapi bagi saya, tidak perlu menunggu menjadi putri proklamator, tidak perlu menunggu menjadi mantan gubernur DKI, tidak perlu menjadi seorang jendral besar, tidak perlu menjadi seorang pendiri partai dan pelopor poros tengah yang berhasil menggulingkan Soeharto, tidak perlu menunggu punya stasiun TV, tidak perlu menunggu menjadi seorang cendikia muslim, tidak perlu menjadi seorang yang punya yayasan atau aktif dalam organisasi. Cukup menjadi putra-putra Ibu Pertiwi yang merasa bertanggung jawab atas keadaan ibunya. Sejarah membuktikan bahwa people power yang akan berjaya dan merubah sejarah. Mari bersatu menjaga keutuhan NKRI. Jangan mau lagi dimanipulasi dalam berbagai konflik atas nama agama. Kita masih punya pekerjaan rumah yang sangat banyak. Ceritakan pada rekan kantor kita, teman sekolah, pacar, suami, istri, anak, teman arisan, teman pengajian, teman di rumah ibadah, teman di organisasi, siapa saja. Sudah saatnya kita bangun. Tinggalkan sejenak individualisme dan zona nyaman kita. Kita tidak akan lagi merasakan kedamaian kalau kita tidak betul-betul berdaulat di negeri kita sendiri.

BENDE MATARAM !!! BENDE MATARAM !!! JAYALAH IBU PERTIWI, JAYALAH INDONESIA !!!

Catatan Arbania Fitriani


Friday, 22 January 2010

Aceh, Masihkah Kau Bagian NKRI atau Sudah Menjadi Bagian Kerajaan Saud ?


Kontroversi Jilbab Putri Indonesia
Menang Tapi Dianggap Bisa Memalukan
Source : detik.com

Jakarta - Qory Sandioriva begitu sumringah ketika menerima mahkota Putri Indonesia disematkan di kepalanya. Gadis berusia 20 tahun asal Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD) tersebut merasa bangga karena bisa menyingkirkan gadis-gadis cantik dari provinsi lainnya di seluruh Indonesia.

Namun belakangan, keikutsertaan Qori yang mewakili NAD dipersoalkan. Pasalnya, dara keturunan Aceh yang lahir di Jakarta itu, tidak mengenakan pakaian yang
diwajibkan bagi masyarakat Aceh, salah satunya harus berjilbab.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Pemprov NAD Bustanul Arifin saat dihubungi detikcom menyatakan, sesuai Qanun Pasal 11 Tahun 2003, setiap warga
Aceh diwajibkan memakai pakaian muslimah, bagi perempuan.

"Kalau Qori tidak mengenakan jilbab berarti dia tidak pantas mengaku sebagai utusan dari Aceh. Karena kalau orang Aceh atau utusan dari Aceh harus mengikuti
aturan yang berlaku di sini," kata Arifin.

Dijelaskan Arifin, aturan yang dibuat di Aceh bukan berarti masyarakat tidak bisa berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat nasional. Hanya saja,
dalam even-even tertentu Pemprov NAD memang tidak mengirimkan delegasinya lantaran ada aturan yang mengikat warganya. Misalnya dalam kegiatan olahraga,
renang dan voli.

Di dua cabang olahraga tersebut pemerintahan Aceh telah menetapkan tidak akan mengirimkan atlet-atlet wanitanya karena hal tersebut bertentangan dengan Qanun syariat, karena harus membuka sebagian aurat.

Adapun even hiburan yang bisa ditoleransi hanyalah even menyanyi yang masih memungkinkan bagi perempuan Aceh untuk memakai jilbab. "Kalau kontes Putri Indonesia kan pesertanya harus melepas jilbab dan berpakaian minim. Ini jelas melanggar norma masyarakat Aceh," tegas Arifin.

Namun Qory Sandioriva, Puteri Indonesia 2009, punya alasan lain kenapa dirinya tidak berjilbab. Menurutnya, usai acara Final Putri Indonesia, dirinya sudah
mendapat restu dari para ulama untuk tidak berjilbab di Puteri Indonesia 2009.

"Saya menanggalkan jilbab seiizin ulama dan pemprov. Semoga alasan saya bisa diterima," begitu kata Qori kepada wartawan usai acara pemilihan.

Namun izin yang diakui Qori telah dikantonginya, dibantah Pemprov NAD. Menurut Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar SAg Pemprov NAD tidak pernah memberikan
rekomendasi kepada Qory menjadi wakil Aceh dalam ajang Pemilihan Putri Indonesia 2009.

Saat dihubungi detikcom, Nazar mengaku dalam waktu dekat akan menemui Qori jika yang bersangkutan datang ke Aceh. Dalam pertemuan itu Nazar ingin menanyakan
tentang keikutsertaannya di ajang pemilihan putri Indoensia yang membawa nama Aceh.

"Jika ia mengaku meminta izin dari ulama atau pemerintah daerah Aceh, harusnya Qori mengikuti aturan yang diterapkan bagi masyarakat Aceh. Jangan hanya
ngaku-ngaku saja tapi tidak mengikuti norma yang disepakati di Aceh," jelasnya.

Protes yang sama juga disampaikan Dinas Syariat Islam dan Majelis Adat Aceh (MAA). Kedua lembaga ini menegaskan agar Qori mematuhi budaya Aceh dalam
berbusana muslimah kalau masih tetap mengaku jadi utusan Aceh.

Pasalnya, kata Ketua MAA Mursyid Yahya, kalau ingin dibilang sebagai masyarakat Aceh, harus memakai pakaian muslimah, sesuai adat dan budaya Aceh. Apalagi Aceh punya aturan sendiri, khususnya soal penerapan Syariat Islam.

Ditambahkannya, tiga keistimewaan yang dimiliki Aceh, salah satunya sebagai daerah Syariat Islam. Jadi bila ada orang yang mengaku dari Aceh dan tidak
mengikuti aturan yang ada dan mengikuti aturan budaya timur dalam berpakaian maupun penampilan.

Karena dianggap tidak mengikuti aturan yang diterapkan di Aceh, sejumlah tokoh Aceh ini pun meminta Qori tidak mengaku berasal dari Aceh. Karena hal tersebut bisa memalukan masyarakat Aceh.

"Sebaiknya, kalau tidak berjilbab, Qori tidak usah mengaku sebagai utusan dari Aceh. Karena dia memang tidak mewakili masyarakat Aceh," tandas anggota Fraksi PKS di DPRA NAD tersebut.

Wednesday, 20 January 2010

catatan seorang Arbania Fitriani

Benarkah PKS Pro Rakyat Indonesia?A
TESTIMONY FROM EX PKS CADRE


Pertama-tama, saya menuliskan pengalaman saya ini tidak untuk menjatuhkan atau menjelek-jelekkan salah satu partai besar di Indonesia. Saya hanya ingin berbagi pengalaman untuk menjadi bahan renungan para pembaca agar dapat lebih mengenal PKS dari dalam.

Tulisan ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengenal PKS secara objektif, agar rakyat Indonesia mengetahui apakah PKS benar-benar mengusung kepentingan rakyat Indonesia atau justru sedang mengkhianati masyarakat dan para kadernya sendiri dengan sentimen keagamaan serta jargon sebagai partai bersih. Sayangnya, banyak masyarakat dan orang-orang di dalam tubuh PKS ini pun tidak menyadarinya.

Bagian tersebut akan saya jelaskan secara singkat di akhir cerita saya, dan sekarang saya ingin berbagi dulu kepada para pembaca mengenai sistem pengkaderan PKS yang sangat canggih dan sistematis sehingga dalam waktu singkat membuatnya menjadi partai besar.

Saya waktu mahasiswa adalah kader PKS mulai dari 'am sirriyah sampai ke 'am jahriyah. Mulai dari saya masih sembunyi-sembunyi dalam berdakwah, sampai ke fase dakwah secara terang-terangan, sejak PKS masih bernama PK sampai kemudian menjadi PKS.

Dalam struktur pengkaderan PKS di kampus, ada beberapa lingkaran, yakni lingkaran inti yang disebut majelis syuro'ah (MS), lingkaran ke dua yakni majelis besar (MB), dan lingkaran tiga yang menjadi corong dakwah seperti senat (BEM), BPM (MPM), dan lembaga kerohanian islam. Jenjangnya adalah mulai dari lembaga dakwah tingkat jurusan, fakultas, sampai ke universitas. Jika di universitas tersebut terdapat asrama dan punya kegiatan kemahasiswaan, maka di sana pun pasti ada struktur seperti yang telah saya terangkan.

Universitas biasanya akan berhubungan dengan PKS terkait perkembangan politik kampus maupun perkembangan politik nasional. Dari sanalah basis PKS dalam melakukan pergerakan-pergerakan politik dalam negeri atas nama mahasiswa baik itu yang berwujud demonstrasi ataupun pergerakan lainnya. Sistem pergerakan, pengkaderan, dan struktur lingkaran yang terjadi di dunia kampus sama persis dengan yang terjadi di tingkat nasional.

Kembali ke dalam struktur lingkaran PKS di kampus, orang-orang yang duduk di MS jumlahnya biasanya tidak banyak dan orang-orangnya adalah orang-orang yang terpilih. Kebanyakan yang menjadi anggota MS adalah mahasiswa yang memang sudah di kader sejak SMU. Tapi tidak banyak juga yang berhasil masuk ke dalam MS dari orang-orang yang telah dikader pada saat kuliah. Saya termasuk orang yang masuk ke dalam lingkaran MS yang baru di kader pada saat kuliah dan menduduki posisi sebagai mas’ulah di asrama UI sehingga saya punya akses langsung untuk berdiskusi dengan mas’ulah tingkat universitas. Dari sini juga saya akhirnya banyak tahu sistem dalam PKS meskipun saya pada tingkat fakultas hanya masuk sampai tingkat MB.

Dalam MS dan MB memiliki mas’ul (pemimpin untuk anggota ikhwan) dan mas’ulah (pemimpin untuk anggota akhwat). Masing-masing mas’ul (ah) ini membawahi MS secara keseluruhan dan ada juga mas’ul(ah) yang membawahi sayap-sayap dakwah yakni sayap tarbiyah (mengurusi pengkaderan khusus untuk ikhwah seperti pemetaan liqoat, materi liqoat, dll), sayap syiar (mengurusi syiar islam khususnya dalam lembaga kerohanian formal dan menjaring kader baru), dan sayap sosial & politik (mengurusi dakwah dalam bidang lembaga formal kampus yakni BEM dan MPM).

Di lingkaran ke dua adalah majelis besar, anggotanya adalah ikhwah yang sudah di kader juga dan tinggal menerima keputusan dari MS untuk dilaksanakan. Jadi, MS ini adalah tink-tank dari seluruh kegiatan yang terjadi di kampus. Apabila kader PKS duduk sebagai ketua BEM/Senat atau MPM/BPM, maka semua kegiatannya harus mendapat ijin dari MS dan memang biasanya berbagai agenda di BEM/Senat dan MPM/BPM ini dibuat oleh MS.

Bagaimana sistem pengkaderan PKS itu sendiri? Bagaimana PKS mengubah seorang menjadi kader yang militant? Jalan pertama adalah menguasai Senat, BEM, BPM, dan MPM. Apabila lembaga formal ini sudah dikuasai maka akan mudah untuk membuat kebijakan terutama pada masa penerimaan mahasiswa baru.

Saat orientasi Mahasiswa baru biasanya mereka akan dibentuk kelompok kecil (halaqah) dan ikhwah PKS akan berperan sebagai mentor. Kegiatan ini akan berlanjut rutin selama masa perkuliahan di mana halaqah ini akan berkumpul 1 minggu sekali. Dari sinilah biasanya akan terjaring orang-orang yang kemudian akan menjadi ikhwah militan, bahkan orang yang sebelumnya tidak pakai jilbab dan sangat gaul bisa menjadi seorang akhwat yang sangat pemalu namun juga sangat militan.

Agenda utama kami adalah membentuk Manhaj Islamiyah di Indonesia menuju Daulah Islamiyah (mirip dengan sistem Khilafah Islamiyah dari HTI). Doktrin utama dalam sistem jamaah PKS yang juga menamakan dirinya sebagai jamaah Ikhwanul Muslimin ini adalah “nahnu du’at qobla kulli sya’I” dan “sami’na wa ata’na”. Dua doktrin inilah yang membuat kami semua menjadi orang yang sangat loyal dan militan. Setiap instruksi yang diberikan dari mas’ul(ah) ataupun murabbi(ah) kami akan kami pasti patuhi meskipun kami tidak benar-benar paham tujuannya. Seperti menyumbang, mengikuti demonstrasi, meskipun harus bolos kuliah, dll.

Selama saya aktif di pergerakan ini, saya melihat banyak sekali teman-teman saya yang berhenti menjadi Aktivis Dakwah Kampus (ADK). Dulu saya merasa kasihan dengan mereka, karena yang saya tahu – diberitahu oleh murabbi kami dan juga seringkali dibahas dalam taujih atau tausiyah (semacam kultum) – bahwa dalam jalan dakwah ini selalu akan ada orang-orang yang terjatuh di jalan dakwah, mereka adalah orang-orang futur (berbalik ke belakang).

Orang-orang ini biasanya kami label sebagai anggota “basah” (barisan sakit hati). Saya mempercayai semuanya sampai akhirnya saya pun merasa tidak cocok lagi untuk berada di sana dan memutuskan untuk keluar dari ADK padahal saya dulu sudah diproyeksikan sebagai ADK abadi (orang yang akan menjadi aktivis dakwah kampus selamanya dengan cara menjadi dosen atau karyawan tetap di kampus).

Ada beberapa alasan yang membuat saya mengambil keputusan untuk keluar, antara lain:

1. Adanya ekslusivisme antara kami para ADK dengan orang-orang diluar ADK. Kami para ADK adalah orang-orang khos (orang khusus) dan mereka adalah adalah orang ’amah (orang umum). Orang khos adalah orang yang sudah mengikuti tarbiyah dan mengikuti liqo’at (semacam halaqah tapi lebih khusus lagi) dan orang ’amah adalah orang yang belum mengenal tarbiyah.

Para ikhwah, terutama para ADK, tidak akan mau menikah dengan ’amah karena mereka dapat membuat orang khos seperti kami menjadi future, bahkan bisa membuat kami terlempar dari jalan dakwah. Istilah khos dan a’amah ini membuat saya merasa tidak natural dan tidaknmanusiawi dalam menghadapi teman saya yang ’amah.

Saya diajarkan bahwa mereka adalah mad’u (objek dakwah) saya. Jika saya bisa menarik mereka ke dalam sistem kami apalagi bisa menjadi ADK, maka kami akan mendapat pahala yang sangat besar. Saya merasa menjadi berdagang dengan teman saya yang dulunya sebelum menjadi ADK adalah sahabat saya. Saya merasa tidak memanusiakan teman saya dan lebih memandang mereka sebagai objek dakwah.

2. Dalam liqo’at ataupun dauroh saya juga ada beberapa hal yang membuat saya tidak sreg, seperti bahwa saya harus lebih mengutamakan liqo’at daripada kepentingan orang tua dan keluarga saya. Bahkan saya pernah diberitahu bahwa bila sudah ada panggilan liqo’at, mski orang tua saya sakit dan harus menjaganya, maka saya harus tetap datang liqo (entah mengapa selama beberapa tahun saya bisa menerima konsep yang kurang manusiawi ini).

Hal lain adalah saya tidak boleh mengikuti kajian di luar liqo saya, padahal setahu saya bahwa kebenaran itu tidak hanya milik liqo saya, masih banyak sekali kebenaran di luar sana. Bahkan buku bacaan pun diatur dimana ada banyak buku yang saya sangat berguna untuk menambah wawasan keislaman saya seperti buku yang mengajarkan tentang hakikat islam namun oleh murabbi saya dilarang. Untuk hal ini saya membangkang karena seandainya islam itu memang benar rahmatan lil alamin maka ilmunya pun pasti sangat luas dan tidak hanya monopoli orang-orang di PKS semata.

Dan hal yang paling mengusik saya adalah selama saya mengaji di liqo ataupun mengikuti taujih dan taushiyah dalam syuro ataupun dauroh-dauroh (training) saya merasa lebih banyak diajarkan tentang kebencian terhadap agama atau aliran lain seperti bagaimana kejamnya kaum nashoro (nasrani) yang membantai saudara kami di Poso, yahudi yang membantai saudara kami di Palestina, JIL yang memusuhi kami, NII yang sesat, teman-teman Salafi yang mengganggu kami, dst. Sampai-sampai, akibat begitu terinternalisasinya hal tersebut, ketika saya mengikuti tarbiyah universitas dan sedang makan siang, saya dan teman-teman menganggap yang sedang kami makan dan telan itu adalah orang-orang yahudi dan nashoro.

Doa-doa kami pun selalu secara khusus ketika qunut adalah untuk mujahid-mujahid di Palestina dan Afganistan (kadang saya berpikir kapan kita berdoa untuk pahlawan perjuangan di Indonesia yang telah menghadiahkan kemerdekaan terhadap kita). Sejujurnya saya lebih tersentuh dan bisa menangis tersedu-sedu ketika dibacakan ayat-ayat seperti dalam surat Ar-Rahman yang menceritakan Cinta-Ilahi ketimbang surah seperti Al-Qiyamah yang menceritakan azabNya.

Kebencian sangat bertentangan dengan hati nurani saya karena saya sangat percaya dengan ayat yang mengatakan bahwa rahmat Allah SWT lebih cepat dari murkaNya, yang artinya cinta Allah SWT seharusnya dapat menghapus kemarahanNya terhadap umat manusia. Inilah sebabnya mengapa di sini hati saya merasa sangat kering saat mengikuti tausiyah dan taujih yang senantiasa bercerita tentang peperangan dan kebencian.

3. Semua ganjalan-ganjalan yang saya rasakan akhirnya meledak ketika saya kemudian tahu dari sumber yang terpercaya dalam pemerintahan, juga dari petinggi PKS sendiri, tentang agenda yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya dan pastinya juga tidak diketahui oleh orang-orang se-level saya atau bahkan pun pengurus inti PKS.

Agenda utama PKS adalah menghancurkan budaya Indonesia melalui invasi budaya Arab Saudi. Banyak sekali indikasi yang saya rasakan langsung pada saat menjadi ADK seperti upaya kami untuk menghalang-halangi acara seni, budaya, musik, dll. Hingga berbagai upaya kami agar bisa memboikot mata kuliah ilmu budaya dasar (IBD). Saya ingat dulu, karena saya begitu termakan doktrin bahwa mata kuliah IBD tidak berguna dan bisa melemahkan iman saya seringkali membolos kalau ada latihan menari sampai saya sempat dibenci teman-teman saya.

Kembali kepada agenda PKS ini sebagai perpanjangan tangan dari Kerajaan Saudi tujuan utamanya adalah agar kekuasaan Arab bisa mencapai indonesia mengingat satu-satunya sumber devisa Arab adalah minyak yang diperkirakan akan habis pada tahun 2050 dan melalui jamaah haji.

Indonesia adalah negara yang sangat kaya sumber daya alam dan merupakan umat muslim terbesar di dunia. Bahkan jika seluruh umat muslim di timur tengah disatukan, umat muslim Indonesia masih jauh lebih banyak. Untuk itu, agar dapat bertahan secara ekonomi, maka Arab Saudi harus bisa merebut Indonesia dan cara yang paling jitu adalah melalui invasi kebudayaan.

Islam dibuat menjadi satu dengan kebudayaan Arab, sehingga budaya Arab akan dianggap Islam oleh masyarakat Indonesia yang relatif masih kurang terdidik dan secara emosional masih sangat fanatik terhadap agama.

Ketika kebudayaan lokal sudah bisa dihilangkan dan kebudayaan Arab yang disamarkan sebagai Islam dapat berkuasa, maka orang-orang akan menjadi begitu fanatik buta bahkan fundamentalis dan tidak bisa lagi mengapresiasi agama lain dan budaya lokal. Lalu, bila kebudayaan Nusantara sudah sampai dianggap musyrik atau bid’ah, maka saat itulah NKRI akan bubar. Orang-orang yang pulaunya dihuni oleh mayoritas non muslim atau yang masih memegang budaya lokal di indonesia akan meminta merdeka. Pulau-pulau di Indonesia akan terpecah belah dan pada saat itulah orang-orang ini akan bagi-bagi “kue”.

Peta rencanaya adalah bagian pulau di Indonesia yang mayoritas Islam akan dikuasai oleh Arab. Sedangkan daerah yang penduduknya mayoritas kristen akan dikuasai oleh Amerika. Lalu, daerah-daerha yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, Buddha, Animisme, dll., akan dikuasai oleh Cina.

Tidak banyak orang PKS yang tahu soal ini, hanya segelintir saja yang memahaminya. Mereka menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan agar dapat lebih memudahkan agendanya. Sentimen keagamaan terus dipakai untuk meraih simpati masyarakat. Sehingga berbagai produk kebijakan seperti Perda Syariat, UU APP, dll. yang rata-rata hanya sekedar mengurus masalah cara berpakaian semata akan dengan bangganya diterima oleh masyarakat muslim yang naif sebagai keberhasilan Islam. Masyarakat kita lupa bahwa sampai saat ini PKS belum menghasilkan produk yang dapat memajukan ekonomi, menyelesaikan permasalahan kesehatan, pendidikan, pencegahan bencana alam, korupsi, trafficking, tayangan TV yang semakin memperbodoh masyarakat, dan permasalahan lain yang lebih riil dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat kita ketimbang sekedar mengatur cara orang dewasa berpakaian dan berperilaku.

Jangan terburu-buru apriori dan menganggap tulisan mengenai pengalaman saya ini adalah black campaign. Renungkan dengan hati nurani yang dalam. Tidak ada kepentingan saya selain hanya menyampaikan kebenaran.

Saya tahu resiko apa yang ada di hadapan saya dan siapa yang saya hadapi. Tapi saya lebih takut menjadi bagian dari orang yang zalim, karena tahu kebenaran, namun tidak bersuara. Rasa cinta saya bagi negeri yang sudah memberi saya kehidupan ini menutupi rasa takut saya. Saya yakin siapa yang berjalan dalam kebenaran maka kebenaran akan melindunginya.

Buat rekan saya, murabbi saya, sahabat-sahabat saya dulu sesama ikhwah, saya mencintai kalian semua dan akan terus mencintai kalian. Saya berharap, persaudaraan kita tetap terjalin karena bukanlah partai atau agama yang mempersaudarakan kita, tapi karena kita satu umat manusia, anak cucu Adam. Kalau bahasa teman saya, kita menjadi saudara karena kita menghirup udara yang sama, makanya kita disebut “sa-udara”.Semoga pengalaman saya ini dapat menjadi bahan renungan para jamaah “fesbukiyah” dalam menentukan pilihan pemimpin yang akan membawa kapal Indonesia menuju masyarakat yang bahagia, makmur dan sentosa, yang memiliki jati diri dan menghargai kebudayaan nusantara. Wallahu A’lam Bis-Shawab Wallahul Musta’an.

oleh: Arbania Fitriani