Beberapa hari ini, tiba-tiba kita menjadi akrab dengan istilah brainwashing. Padahal, begitu seseorang mulai mengenal konsep benar dan salah, saat itu pula seorang manusia mulai membuka akses ke dalam dirinya untuk mendapatkan sebuah brainwash. Hanya saja, kita tidak menyadarinya dan tidak mengenal istilahnya. Untuk itu mari kita berkenalan secara lebih dekat mengenai istilah brainwashing dari sudut pandang psikologis.
Berbicara tentang brainwashing, kita akan banyak menyentuh ranah psikoanalasa dan tanpa melupakan aliran behavioris pavlovian dan Lenin sebagai tokoh yang telah memberikan sumbangan besar dalam memperkenalkan tiga tahapan otak dalam merespon stimuli yang didapatkan dari luar. Sebelum kita mengenal istilah brainwashing, mari kita mengenal terlebih dahulu elemen kesadaran manusia dari sudut pandang psikoanalisa. Salah satu pelopor psikoanalisa yang sangat terkenal Sigmund Freud, membagi elemen kesadaran manusia menjadi tiga yakni conscious mind (pikiran sadar), subconsiouss mind (pikiran bawah sadar) dan praconsiouss (alam tak sadar). Manusia juga memiliki tiga system yang akan berinteraksi dengan stimuli dari luar yakni id, ego, dan superego. Ketika manusia lahir, yang ada dalam dirinya hanyalah id yakni instik dasar yang terbagi atas dua yakni natos terkait dengan upaya untuk mempertahankan kehidupan seperti makan, sex,dll serta tanatos yang terkait dengan instik untuk mempertahankan diri dari kematian seperti rasa sakit, dll. Ego akan berkembang ketika anak sudah mulai mengenal system di luar dirinya seperti tidak lagi pipis kecuali di toilet, dll. Sedangkan superego terbentuk ketika anak mulai diperkenalkan prinsip moral, baik dan buruk. Dalam perkembangan selanjutnya, ego dan superegolah yang menentukan pembentukan perilaku seorang manusia. Untuk mempertahankan diri, ego membentuk suatu system pertahanan yang disebut sebagai defense mechanism. Saat menghadapi berbagai pengalaman hidup yang tidak menyenangkan, ego akan membentuk berbagai bentuk pertahanan. Salah satunya dikenal dengan repression, suatu proses pertahanan dimana ego akan segera menekan sebuah pengalaman menyakitkan entah ketika terjadi pada masa kecil atau bahkan saat prenatal dengan TANPA DISADARI ke subconsiouss atau bahkan ke praconsiouss oleh manusia sehingga ia akan terkesan baik-baik saja. Namun, ketika ada trigger atau stimulus yang sesuai, maka muncullah berbagai symptom yang kemudian dikategorikan sebagai sebuah ‘personality disorder’ atau gangguan kepribadian. Seseorang bisa berhalusinasi, memunculkan waham, ataupun delusi. Ilusi adalah suatu kondisi dimana individu menganggap nyata suatu objek yang sesungguhnya tidak ada secara fakta. Delusi adalah kondisi dimana individu menginterpretasikan sebuah fakta secara melenceng dari kenyataannya. Dan waham adalah sebuah keyakinan keliru yang tidak nyata, seperti merasa ada yang akan membunuh, dll.
Sekarang kita akan berbicara sejarah istilah brainwash. Ketika berbicara brainwash, kita akan sangat dekat dengan pembahasan bagaimana sebuah stimuli mempengaruhi subconsciouss dan praconciouss manusia. Dan tentu saja, ego serta superego turut mengambil peran di dalamnya. Dalam penelitian secara intensif yang dilakukan oleh Dick Sutphen yang dipresentasikan dalam Kongres Tingkat Dunia untuk Profesi Hypnosis di Las Vegas, Nevada mengenai teknik brainwashing dalam dunia public saat ini, dia banyak bercerita bagaimana sejarah dan metode brainwashing yang terjadi pada masyarakat. Penelitian ini pertama kali dilakukan oleh seorang kristiani Jonathan Edwards yang secara tidak sengaja menemukan teknik ini dalam perang salib pada tahun 1735 di Northampton, Massachusets. Dia mengkondisikan otak tentaranya dalam situasi datar dengan rasa bersalah dan memasukkan pemahaman secara akut akan dosa melalui perkataan repetitive “Kau adalah pendosa takdirmu adalah neraka”. Hasilnya, ada yang bunuh diri dan sebagian lain berniat untuk bunuh diri. Pavlov di tahun 1900 melanjutkan penelitian ini pada hewan yang menghasilkan teori Unconditional behavior dan kemudian dilanjutkan oleh Lenin yang dilakukan pada manusia dan selanjutnya mengurai tiga tahapan penerimaan otak. Tahap equivalent dimana otak memberikan respon yang sama terhadap stimuli kuat dan lemah, tahap paradoxical dimana otak memberikan respon yang lebih kuat terhadap stimuli yang lebih lemah ketimbang setimuli yang kuat,dan tahap ultra paradoxical dimana respon dan prilaku dikondisikan secara terbalik dari positif menjadi negative dan dari negative menjadi positif. Tahap inilah, prinsip brainwashing ditujukan.
Teknik utama dalam brainwash adalah sesuatu yang sifatnya repetitive dan intensif. Akan lebih dipermudah apabila dibantuu dengan perangkat tambahan seperti music dengan ketukan 45-72 permenit yang seirama dengan detak jantung manusia, atau dengan ucapan yang memiliki irama 35-60 ketukan permenit. Pinsip tersebut yang kemudian digunakan dalam dunia periklanan dalam mempengaruhi penonton untuk membeli atau memilih sebuah produk. Prinsip ini pula yang digunakan Hitler untuk mendoktrinasi tentara dan masyarakatnya. Dan, tentu saja aktivitas repetitive lainnya bahkan termasuk shalat dan bacaanya akan menyiapkan otak untuk sebuah proses brainwashing. Mengapa shalat bisa menyiapkan otak secara tepat untuk terjadinya proses brainwashing, karena kondisi yang paling gampang memasukkan program baru ke dalam otak adalah kondisi alpha. Kondisi alpha akan sangat mudah tercapai dalam situasi tenang dan relaks. Dan shalat sama halnya dengan meditasi dapat menciptakan situasi ini. Celakanya, apabila dalam subconsiouss atau pun praconsiouss manusia terdapat banyak emosi menyakitkan yang telah direpresh sebagaimana telah diulas bagian awal, maka dalam kondisi alpha ini pun bisa muncul kembali ke permukaan consiouss mind. Sehingga, ketika subconsiouss mind belum tertangani dengan baik, maka stimulus yang mirip akan diasosiaskan dengan pengalaman yang tidak disadarinya itu. Atau bisa juga karena pengkondisian akan superego mengenai moral baik dan buruk. Sebagai contoh, seseorang yang dulunya pernah mengalami pelecehan seksual sewaktu kecil dan defense mechanism dari system ego secara otomatis memilih proses repress yang sama sekali tidak disadari sehingga terlupakan ketika dewasa, apabila suatu saat mendapat stimuli yang dianggap mirip ditambah dia seringkali melatih diri untuk berada dalam kondisi alpha tersebut, maka dia akan menyebut peristiwa yang dialaminya sama dengan pengalaman sebelumnya. Di sini, akhirnya kita perlu melihat apakah pengalaman yang dianggap sebagai pelecehan seksual adalah sebuah proses brainwashing melalui sebuah metode pengkondisian atau justru sebaliknya pengkondisian ini membuat pengalaman masa lalu muncul kembali sehingga timbullah suatu proses yang disebut delusi “menginterpretasikan pengalaman secara keliru dari kenyataannya” ??!
Saya tidak akan menyimpulkan apapun. Saya hanya ingin memberikan sebuah quote dari seorang psikolog kontemporer dari Universitas California Profesor Rosch, PHD yang banyak melakukan penelitian antara psikologi dan meditasi. "Don't believe everything you think". Dalam artikelnya yang dimuat di American Psychological Association journal dia menyatakan sebagai berikut, “Psychology has traditionally viewed religious or meditative experience as separate from consciousness. Instead, Rosch holds that the field ought to study such experience "to challenge our image of what normal everyday consciousness itself may be." In her view, consciousness is a limited way of knowing, while meditation-induced "awareness" is a broader, wiser way of knowing--a sort of expanded consciousness”.
Berbicara tentang brainwashing, kita akan banyak menyentuh ranah psikoanalasa dan tanpa melupakan aliran behavioris pavlovian dan Lenin sebagai tokoh yang telah memberikan sumbangan besar dalam memperkenalkan tiga tahapan otak dalam merespon stimuli yang didapatkan dari luar. Sebelum kita mengenal istilah brainwashing, mari kita mengenal terlebih dahulu elemen kesadaran manusia dari sudut pandang psikoanalisa. Salah satu pelopor psikoanalisa yang sangat terkenal Sigmund Freud, membagi elemen kesadaran manusia menjadi tiga yakni conscious mind (pikiran sadar), subconsiouss mind (pikiran bawah sadar) dan praconsiouss (alam tak sadar). Manusia juga memiliki tiga system yang akan berinteraksi dengan stimuli dari luar yakni id, ego, dan superego. Ketika manusia lahir, yang ada dalam dirinya hanyalah id yakni instik dasar yang terbagi atas dua yakni natos terkait dengan upaya untuk mempertahankan kehidupan seperti makan, sex,dll serta tanatos yang terkait dengan instik untuk mempertahankan diri dari kematian seperti rasa sakit, dll. Ego akan berkembang ketika anak sudah mulai mengenal system di luar dirinya seperti tidak lagi pipis kecuali di toilet, dll. Sedangkan superego terbentuk ketika anak mulai diperkenalkan prinsip moral, baik dan buruk. Dalam perkembangan selanjutnya, ego dan superegolah yang menentukan pembentukan perilaku seorang manusia. Untuk mempertahankan diri, ego membentuk suatu system pertahanan yang disebut sebagai defense mechanism. Saat menghadapi berbagai pengalaman hidup yang tidak menyenangkan, ego akan membentuk berbagai bentuk pertahanan. Salah satunya dikenal dengan repression, suatu proses pertahanan dimana ego akan segera menekan sebuah pengalaman menyakitkan entah ketika terjadi pada masa kecil atau bahkan saat prenatal dengan TANPA DISADARI ke subconsiouss atau bahkan ke praconsiouss oleh manusia sehingga ia akan terkesan baik-baik saja. Namun, ketika ada trigger atau stimulus yang sesuai, maka muncullah berbagai symptom yang kemudian dikategorikan sebagai sebuah ‘personality disorder’ atau gangguan kepribadian. Seseorang bisa berhalusinasi, memunculkan waham, ataupun delusi. Ilusi adalah suatu kondisi dimana individu menganggap nyata suatu objek yang sesungguhnya tidak ada secara fakta. Delusi adalah kondisi dimana individu menginterpretasikan sebuah fakta secara melenceng dari kenyataannya. Dan waham adalah sebuah keyakinan keliru yang tidak nyata, seperti merasa ada yang akan membunuh, dll.
Sekarang kita akan berbicara sejarah istilah brainwash. Ketika berbicara brainwash, kita akan sangat dekat dengan pembahasan bagaimana sebuah stimuli mempengaruhi subconsciouss dan praconciouss manusia. Dan tentu saja, ego serta superego turut mengambil peran di dalamnya. Dalam penelitian secara intensif yang dilakukan oleh Dick Sutphen yang dipresentasikan dalam Kongres Tingkat Dunia untuk Profesi Hypnosis di Las Vegas, Nevada mengenai teknik brainwashing dalam dunia public saat ini, dia banyak bercerita bagaimana sejarah dan metode brainwashing yang terjadi pada masyarakat. Penelitian ini pertama kali dilakukan oleh seorang kristiani Jonathan Edwards yang secara tidak sengaja menemukan teknik ini dalam perang salib pada tahun 1735 di Northampton, Massachusets. Dia mengkondisikan otak tentaranya dalam situasi datar dengan rasa bersalah dan memasukkan pemahaman secara akut akan dosa melalui perkataan repetitive “Kau adalah pendosa takdirmu adalah neraka”. Hasilnya, ada yang bunuh diri dan sebagian lain berniat untuk bunuh diri. Pavlov di tahun 1900 melanjutkan penelitian ini pada hewan yang menghasilkan teori Unconditional behavior dan kemudian dilanjutkan oleh Lenin yang dilakukan pada manusia dan selanjutnya mengurai tiga tahapan penerimaan otak. Tahap equivalent dimana otak memberikan respon yang sama terhadap stimuli kuat dan lemah, tahap paradoxical dimana otak memberikan respon yang lebih kuat terhadap stimuli yang lebih lemah ketimbang setimuli yang kuat,dan tahap ultra paradoxical dimana respon dan prilaku dikondisikan secara terbalik dari positif menjadi negative dan dari negative menjadi positif. Tahap inilah, prinsip brainwashing ditujukan.
Teknik utama dalam brainwash adalah sesuatu yang sifatnya repetitive dan intensif. Akan lebih dipermudah apabila dibantuu dengan perangkat tambahan seperti music dengan ketukan 45-72 permenit yang seirama dengan detak jantung manusia, atau dengan ucapan yang memiliki irama 35-60 ketukan permenit. Pinsip tersebut yang kemudian digunakan dalam dunia periklanan dalam mempengaruhi penonton untuk membeli atau memilih sebuah produk. Prinsip ini pula yang digunakan Hitler untuk mendoktrinasi tentara dan masyarakatnya. Dan, tentu saja aktivitas repetitive lainnya bahkan termasuk shalat dan bacaanya akan menyiapkan otak untuk sebuah proses brainwashing. Mengapa shalat bisa menyiapkan otak secara tepat untuk terjadinya proses brainwashing, karena kondisi yang paling gampang memasukkan program baru ke dalam otak adalah kondisi alpha. Kondisi alpha akan sangat mudah tercapai dalam situasi tenang dan relaks. Dan shalat sama halnya dengan meditasi dapat menciptakan situasi ini. Celakanya, apabila dalam subconsiouss atau pun praconsiouss manusia terdapat banyak emosi menyakitkan yang telah direpresh sebagaimana telah diulas bagian awal, maka dalam kondisi alpha ini pun bisa muncul kembali ke permukaan consiouss mind. Sehingga, ketika subconsiouss mind belum tertangani dengan baik, maka stimulus yang mirip akan diasosiaskan dengan pengalaman yang tidak disadarinya itu. Atau bisa juga karena pengkondisian akan superego mengenai moral baik dan buruk. Sebagai contoh, seseorang yang dulunya pernah mengalami pelecehan seksual sewaktu kecil dan defense mechanism dari system ego secara otomatis memilih proses repress yang sama sekali tidak disadari sehingga terlupakan ketika dewasa, apabila suatu saat mendapat stimuli yang dianggap mirip ditambah dia seringkali melatih diri untuk berada dalam kondisi alpha tersebut, maka dia akan menyebut peristiwa yang dialaminya sama dengan pengalaman sebelumnya. Di sini, akhirnya kita perlu melihat apakah pengalaman yang dianggap sebagai pelecehan seksual adalah sebuah proses brainwashing melalui sebuah metode pengkondisian atau justru sebaliknya pengkondisian ini membuat pengalaman masa lalu muncul kembali sehingga timbullah suatu proses yang disebut delusi “menginterpretasikan pengalaman secara keliru dari kenyataannya” ??!
Saya tidak akan menyimpulkan apapun. Saya hanya ingin memberikan sebuah quote dari seorang psikolog kontemporer dari Universitas California Profesor Rosch, PHD yang banyak melakukan penelitian antara psikologi dan meditasi. "Don't believe everything you think". Dalam artikelnya yang dimuat di American Psychological Association journal dia menyatakan sebagai berikut, “Psychology has traditionally viewed religious or meditative experience as separate from consciousness. Instead, Rosch holds that the field ought to study such experience "to challenge our image of what normal everyday consciousness itself may be." In her view, consciousness is a limited way of knowing, while meditation-induced "awareness" is a broader, wiser way of knowing--a sort of expanded consciousness”.
