Thursday, 20 October 2011

Hell in the Islamic Republic By ROGER COHEN

Charges and counter-charges filled the airwaves as large crowds, for and against President Mahmoud Ahmadinejad, filled the streets. A late Green wave surged behind Mir Hussein Moussavi, the opposition candidate.

Then night descended and horror. AHMADINEJAD’S “victory” was celebrated with brutality worthy of a putsch. Thugs prowled, armed with the license of the Islamic Republic to beat women.

Lofty clerics bound by those beautiful words — “In the name of God, the Merciful, the Compassionate” — showed no mercy, no compassion, in unleashing the forces who reduced the pre-electoral vitality to a hallucination and thoughtful intellectuals to whimpering wrecks prepared to “confess” to plotting velvet revolution.

Never have I seen a nation’s mood so transformed overnight nor a generation’s aspirations so gratuitously crushed.

Behind the walls of Evin Prison, and in shadowy detention centers like Kahrizak, thousands were detained, beaten, abused; and dozens lost their lives. We will have to wait for the full accounting. Meanwhile we have this testimony:

“The man intones, ‘In the name of God, the Merciful, the Compassionate. ...’ Mohsen braces himself. There is a terse whisper and the instrument comes crashing onto the soles of Mohsen’s feet. An unimaginable pain shoots through his body to his temples, a pain to drive one mad. Mohsen is dimly aware that he is screaming. His wrist and ankles are being cut up as he thrashes against his bonds.

“The beating continues. Before each blow, the man calls, ‘Ya! Hossein!’ After a while he stops to catch his breath. He speaks to Mohsen. He calls him a Hypocrite and a traitor to God. Then he starts again.”

The above passage comes from an important book, “Death to the Dictator!”, written under the pseudonym of Afsaneh Moqadam. The book, published this month by Farrar, Straus and Giroux, plunged me back into Tehran in the harrowing days after June 12, 2009.

It recounts a fairly typical story: A young man named Mohsen Abbaspour (not his real name), who moves from apolitical apathy to action in the weeks before the vote, is outraged by the outcome and joins massive street protests, before being grabbed by goons and “disappeared” into an unspeakable labyrinth of violence.

The intensity of the account put me in mind of Bernard Fall’s “Hell in a Very Small Place.”

I know the author, who agreed that the true identity of Ms. Moqadam be revealed to me. The author is reliable, knowledgeable and assiduous. After speaking to the author, I have no doubt the events related in the book took place as described.

Mohsen is broken by the Islamic Republic, snapped like a twig. He is forced to name his “seditious” friends. His nightmare culminates in rape:

“Tied down as for a bastinado. The heavy man on top, panting. ‘Here! Have your vote back.’

“He loses consciousness from the pain. He is dead.

“Back in a different cell. All like him. No blindfolds in here. The floor is covered in blood and flies. They do it to them once a day, sometimes twice.”

One of the most shattering scenes comes when, after his release, Mohsen asks his mother to take him to a doctor — “not the family doctor.” The doctor, having conducted an examination, “looking at the picture on the wall behind her,” tells a sobbing Mrs. Abbaspour of the injuries to her son’s rectum and less visible ones to his psyche. As she leaves, the doctor says, “May God help you, Mrs. Abbaspour.”

It is impossible to describe the shame. It is a miracle that Mohsen spoke. I asked the author how many such cases there might be. “Hundreds, not thousands,” was the answer. Selective rather than wholesale brutality characterizes the Islamic Republic.

“Orders were given,” the author said. “No Revolutionary Guardsman behaves like that without being told he can.”

Since June 12, U.S. realists and idealists have had an Iranian field day. The realists have dismissed the Green Movement, proclaimed a stolen election fair, and urged President Obama to toss aside human rights concerns and repair relations with Tehran in the American interest.

The idealists have rained renewed fury on Ahmadinejad, called for his overthrow and urged Obama to bury outreach and back Moussavi.

Both are wrong. I told an old Iran hand, a former U.S. diplomat, about “Death to the Dictator” and Mohsen’s rape. “Oh, yes,” he said, “That was an old Savak technique.” The Savak was the shah’s brutal secret police.

If you believe that Iran is not eternally condemned to veer from a monarch’s to a theocrat’s repression, and that its centennial quest for pluralism is unquenchable, speak out about abuse but pursue engagement because isolation only serves the horror merchants. Shun the realist and idealist bravura for the gray area where things get done.

Iran is weaker now than before the election. Its renewed interest in Brazilian-Turkish mediated talks is worth skeptical consideration. If you believe Mohsen — in the name of God, the Merciful, the Compassionate — deserves a future.

Wednesday, 19 October 2011

KONSTITUSI MAJAPAHIT RAYA

 Kitab perundang-undangan Majapahit yang disebut agama atau Kutara-Manawa seperti adanya sekarang terdiri dari 275 pasal, namun di antaranya terdapat pasal-pasal yang sama atau mirip sekali. Dalam terjemahan itu hanya disajikan 272 pasal, karena satu pasal rusak dan yang dua pasal lainnya merupakan ulangan pasal yang sejenis. Pasal-pasal yang mirip diterjemahkan juga, dikumpulkan jadi satu sebagai bahan perhandingan. Kadang-kadang yang berbeda ialah perumusannya saja; yang satu lebih panjang daripada yang lain dan merupakan kelengkapan atau penjelasan dari pasal sejenis yang pendek.

Ada dua piagam yang mencatat nama kitab undang-undang Kutara Manawa, yakni piagam Bendasari, tidak bertarikh, dan piagam Trawulan, 1358 AD

NB: penafsiran Agama pada waktu itu adalah Undang-Undang. Kitab undang-undang Kutara Manawa ini diterbitkan oleh Dr. J. C. G. Jonker tahun 1885 dengan diberi judul Agama atau undang-undang. Pada pasal 23 dan 65 kitab undang-undang itu, disebut Kutara Manawa. 

Isi Konstitusi Majapahit dari hasil penafsiran kitab Kutara Manawa yang awalnya berserakan kemudian disusun kembali:

Bab I: Ketentuan umum mengenai denda

Bab II: Delapan macam pembunuhan, disebut astadusta

Bab III: Perlakuan terhadap hamba, disebut kawula

Bab IV: Delapan macam pencurian, disebut astacorah

Bab V: Paksaan atau sahasa

Bab VI: Jual-beli atau adol-tuku

Bab VII: Gadai atau sanda

Bab VIII: Utang-piutang atau ahutang-apihutang

Bab IX: Titipan

Bab X: Mahar atau tukon

Bab XI: Perkawinan atau kawarangan

Bab XII: Mesum atau paradara

Bab XIII: Warisan atau drewe kaliliran

Bab XIV: Caci-maki atau wakparusya

Bab XV: Menyakiti atau dandaparusya

Bab XVI: Kelalaian atau kagelehan

Bab XVII: Perkelahian atau atukaran

Bab XVII I: Tanah atau bhumi

Bab XX: Fitnah atau duwilatek


Pasal 1 dan 2: Bab umum dinyatakan secara tegas bahwa raja yang berkuasa (Sang Amawa Bhumi) harus teguh hatinya dalam menerapkan besar kecilnya denda, jangan sampai salah dalam hal penerapannya. Jangan sampai orang yang bertingkah salah luput dari tindakan. Itulah kewajiban raja yang berkuasa jika sungguh-sungguh mengharapkan kerahayuan negaranya.

ASTADUSTA pasal 3 dan 4.

Uraian tentang astadusta:
1. Membunuh orang yang tidak berdosa;
2. Menyuruh bunuh orang yang tidak berdosa;
3. Melukai orang yang tidak berdosa;
4. Makan bersama dengan pembunuh;
5. Mengikuti jejak pembunuh;
6. Bersahabat dengan pembunuh;
7. Memberi tempat kepada pembunuh;
8. Memberi pertolongan kepada pembunuh.

Itulah yang disebut astadusta.

Dari delapan dusta itu tiga yang pertama tebusannya pati (hukuman mati), sedangn yang lima lainnya tebusannya uang. Berikut uraian bagi mereka yang ingin mengetahui satu demi satu. 

Astadusta yang ditebus dengan hukuman mati:
1. Barangsiapa membunuh orang yang tidak berdosa, dikenakan hukuman mati;
2. Barang siapa menyuruh bunuh orang yang tidak berdosa, dikenakan hukuman mati;
3. Barang siapa melukai orang yang tidak berdosa (bersalah), dikenakan hukuman mati. (Pasal 3).

Astadusta yang ditebus dengan uang:
1. Makan bersama dengan pembunuh;
2. Bersahabat dengan pembunuh;
3. Mengikuti jejak pembunuh;
4. Mernberi tempat kepada pembunuh;
5. Memberi pertolongan kepada pembunuh.

Kelima dusta itu tebusannya uang, tidak dikenakan hukuman mati oleh raja yang berkuasa.
- Membunuh orang yang tidak berdosa,
- menyuruh bunuh orang yang tidak berdosa,
- dan melukai orang yang tidak berdosa,
ketiga dusta itu, jika terbukti, tebusannya hukuman mati.

Ketiga dusta itu disebut dusta bertaruh jiwa.

Jika mereka yang bersangkutan mengajukan permohonan hidup kepada raja yang berkuasa, ketiga-tiganya dikenakan denda empat laksa, masing-masing sebagai syarat penghapus dosanya. Adapun barang siapa makan bersama dengan pembunuh, memberi tempat kepada pembunuh, bersahabat dengan pembunuh, mengikuti jejak pembunuh, dan memberi pertolongan kepada pembunuh, kelima dusta itu akan dikenakan denda dua laksa, masing-masing oleh raja yang berkuasa, jika kesalahannya telah terbukti dengan kesaksian. (Pasal 4).

ASTACORAH pasal 55, 56, 57.

Jika pencuri tertangkap dalam pencurian, dikenakan pidana mati; anak isterinya, miliknya dan tanahnya diambil alih-oleh raja yang berkuasa. Jika pencuri itu mempunyai hamba laki-laki dan perempuan, hamba itu tidak diambil-alih oleh raja yang berkuasa, tetapi dibebaskan dari segala utangnya kepada pencuri yang bersangkutan (Pasal 55).

Jika seorang pencuri mengajukan permohonan hidup, maka is harus menebus pembebasannya sebanyak delapan tali, membayar denda empat laksa kepada raja yang berkuasa, membayar kerugian kepada orang yang kena curi dengan cara mengembalikan segala milik yang diambilnya dua kali lipat. Demikianlah bunyi hukumnya. (Pasal 56).

Jika di desa terjadi pembunuhan atas seorang pencuri, maka barang curian, kepala pencuri, harta miliknya, anak-isterinya, supaya dihaturkan (diserahkan) kepada raja yang berkuasa. Itulah jalan yang harus ditempuh. Jika kerabat pencuri itu terbukti tidak ikut serta dalam pencurian, mereka tidak layak dikenakan denda. (Pasal 57).

SAHASA (paksaan), pasal 86, 87, 92.

Barang siapa mengambil milik orang tanpa hak, supaya diperingatkan, bahwa barang yang diambil secara haram itu, akan hilang dalam waktu enam bulan. Jika belum hilang dalam enam bulan, peringatkan, bahwa barang itu akan hilang dalam waktu enam tahun. Segala modal milik orang yang mengambil barang tanpa hak itu akan turut hilang. Ingat-ingatlah akan ajaran sastra: jangan sekali-kali mengambil uang secara haram. (Pasal 86).

Barang siapa sengaja merampas kerbau atau sapi orang lain, dikenakan denda dua laksa. Barang siapa merampas hamba orang, dendanya dua laksa. Denda itu dihaturkan kepada raja yang berkuasa. Pendapatan dari kerbau, sapi, dan segala apa yang dirampas, terutama hamba, dikembalikan kepada pemiliknya dua kali lipat. (Pasal 87).

Barang siapa menebang pohon orang lain tanpa izin pemiliknya, dikenakan denda empat tali oleh raja yang berkuasa. Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenakan pidana mati oleh raja yang berkuasa; pohon yang ditebang dikembalikan dua kali lipat. (Pasal 92).

TANAH pasal 258, 259, 261.

Jika ada orang memperbaiki pekarangan, kebun, taman, selokan, ladang, telaga, bendungan, kolam ikan, yang bukan miliknya, tanpa disuruh oleh pemiliknya, orang yang demikian itu tidak berhak minta upah kepada si pemilik. Jika ia mendapat keuntungan dari pebaikan itu, pemiliknya berhak menuntut, jangan dibiarkan. Malah ia dikenakan denda dua laksa oleh raja yang berkuasa.

Barang siapa minta izin untuk menggarap sawah, namun tidak dikerjakannya sehingga sawah itu ringgal terbengkalai, supaya di­tuntut untuk membayar utang makan sebesar hasil padi yang dapat dipungut dari sawah (yang akan dikerjakan itu). Besarnya denda ditetapkan oleh raja yang berkuasa sama dengan denda pengrusak makanan. (Pasal 259).

Barang siapa mengurangi penghasilan makanan, misalnya dengan mempersempit sawah atau membiarkan terbengkalai segala apa yang menghasilkan makanan, atau melalaikan binatang piaran apa pun, kemudian hal tersebut diketahui oleh orang banyak, orang yang demikian itu diperlakukan sebagai pencuri dan dikenakan pidana mad. Demikian ajaran sastra (Pasal 261).

TUKON ATAU MAHAR pasal 167, 171, 173.

Jika seorang gadis rela menerima barang yang dimaksud sebagai tukon atau mahar, kemudian kawin dengan laki-laki lain, karena menaruh cinta kepada laki-laki lain, sedangkan orang tua gadis itu tinggal diam, bahkan malah mengawinkannya, perbuatan itu disebut: mengawinkan gadis larangan. Segala tukon pelamar pertama harus dikembalikan lipat dua. Bapa gadis dikenakan denda empat laksa oleh raja yang berkuasa. Hal itu disebut amadal tukon: membatalkan tukon. Suami-isteri yang menikah, masing-masing dikenakan denda empat laksa oleh raja yang berkuasa. (Pasal 167).

Jika seorang pemuda memberikan peningset atau pengikat (panglarang) kepada seorang gadis, dengan diketahui oleh orang banyak, dan setelah lima bulan lamanya (perkawinan belum dilangsungkan), maka pemuda itu tidak mempunyai hak atas pengikat itu. Gadis yang demikian oleh orang banyak disebut wulanjar (janda yang belum kawin, belum beranak). Ayah gadis berhak mengawinkannya dengan orang lain. (Pasal 171).

Jika orang tua gadis telah menerima tukon dari pelamar sebagai tanda, bahwa gadisnya telah laku, dan telah menyetujui waktu berlangsungnya perkawinan, sedangkan jejaka patuh menanti janji orang tua gadis, namun ketika sampai pada janjinya gadis tersebut dikawinkan dengan orang lain oleh bapa gadis yang bersangkutan, maka jumlah tukon harus dikembalikan dua lipat dan orang tua gadis itu dikenakan denda empat laksa oleh raja yang berkuasa. (Pasal 173).

PERKAWINAN pasal 180, 181, 182.

Jika seorang isteri enggan kepada suaminya, karena is tidak suka kepadanya, uang tukon harus dikembalikan dua lipat. Perbuatan itu disebut amadal sanggama (membatalkan percampuran). (Pasal 180).

Jika perempuan tidak suka kepada suaminya, supaya suami menunggu setahun. Jika setelah setahun masih tetap tidak suka kepadanya, supaya perempuan itu mengembalikan tukon lipat dua. Peristiwa itu disebut amancal turon (enggan tidur bersama). (Pasal 181). Jika di dalam perkawinan suami-isteri ingin mencampur harta milik yang dibawanya masing-masing, ketika kawin, percampuran itu tidak dibenarkan sebelum lima tahun. Setelah kawin lima tahun, barulah diizinkan percampuran harta milik suami-istri. Percampuran harta milik itu Baru sah. Demikian ujar orang pandai. (Pasal 182).

VII. Dari bab titipan, pasal 159, 160, 154.

Penitipan milik sebaiknya dilakukan pada orang yang tinggi wangsanya, haik kelakuannya, tahu akan darma, setia kepada katanya, bersih hatinya, dan orang kaya. Itulah tempat penitipan harta milik.

Barang siapa menerima titipan, jika penitipnya mati tanpa meninggalkan ahli waris (praanantara), yakni kakek, nenek, bapa, ibu, anak, kemenakan, saudara sepupu, saudara mindo (tingkat dua), maka tidak perlu mengembalikan. Jika penerima titipan itu mati, titipan itu tidak hilang, karena penitipnya masih hidup, meskipun tidak mempunyai anak sekalipun. Anak penerirna titipan bertindak sebagai ahli waris, harus menyerahkan kembali titipan itu kepada penitip. Titipan itu tidak akan disita oleh raja yang berkuasa. Jika anak penerima titipan itu telah mengembalikan barang titipan itu, ahli penerima titipan bebas dari tuntutan, namun tidak mempunyai wewenang untuk menahan titipan. (pasal 160).

Barang siapa yang merusak barang titipan, jika terbukti bahwa barang titipannya itu digunakannya, dipakai, diganti rupa, tanpa meminta izin penitipan, perbuatan itu disebut merampas. Perbuatan itu sama dengan perbuatan merusak barang titipan dengan sengaja.

Semua barang titipan itu harus dikembalikan kepada penitip dengan nilai dua lipat, ditambah denda dua laksa oleh raja yang berkuasa, sebabnya ialah merusak titipan sama dengan mencuri (pasal 154).

Seperti telah dinyatakan pada permulaan bab, kata agama dalam perundang-undangan hanya dapat berarti: udang-undang. Seperti telah terbukti dalam prasasti Bendasari dalam O.J.O. LXXXV lempengan 6a, pengadilan Majapahit pada zaman pemerintahan Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanagara berpedoman pada kitab perundang-undangan Kutara Manawa, dikeluarkan oleh hakim yang disebut Rajadhikara.
Add caption

Friday, 21 January 2011

Brainwash ? Apa dan Bagaimana ?

Beberapa hari ini, tiba-tiba kita menjadi akrab dengan istilah brainwashing. Padahal, begitu seseorang mulai mengenal konsep benar dan salah, saat itu pula seorang manusia mulai membuka akses ke dalam dirinya untuk mendapatkan sebuah brainwash. Hanya saja, kita tidak menyadarinya dan tidak mengenal istilahnya. Untuk itu mari kita berkenalan secara lebih dekat mengenai istilah brainwashing dari sudut pandang psikologis.

Berbicara tentang brainwashing, kita akan banyak menyentuh ranah psikoanalasa dan tanpa melupakan aliran behavioris pavlovian dan Lenin sebagai tokoh yang telah memberikan sumbangan besar dalam memperkenalkan tiga tahapan otak dalam merespon stimuli yang didapatkan dari luar. Sebelum kita mengenal istilah brainwashing, mari kita mengenal terlebih dahulu elemen kesadaran manusia dari sudut pandang psikoanalisa. Salah satu pelopor psikoanalisa yang sangat terkenal Sigmund Freud, membagi elemen kesadaran manusia menjadi tiga yakni conscious mind (pikiran sadar), subconsiouss mind (pikiran bawah sadar) dan praconsiouss (alam tak sadar). Manusia juga memiliki tiga system yang akan berinteraksi dengan stimuli dari luar yakni id, ego, dan superego. Ketika manusia lahir, yang ada dalam dirinya hanyalah id yakni instik dasar yang terbagi atas dua yakni natos terkait dengan upaya untuk mempertahankan kehidupan seperti makan, sex,dll serta tanatos yang terkait dengan instik untuk mempertahankan diri dari kematian seperti rasa sakit, dll. Ego akan berkembang ketika anak sudah mulai mengenal system di luar dirinya seperti tidak lagi pipis kecuali di toilet, dll. Sedangkan superego terbentuk ketika anak mulai diperkenalkan prinsip moral, baik dan buruk. Dalam perkembangan selanjutnya, ego dan superegolah yang menentukan pembentukan perilaku seorang manusia. Untuk mempertahankan diri, ego membentuk suatu system pertahanan yang disebut sebagai defense mechanism. Saat menghadapi berbagai pengalaman hidup yang tidak menyenangkan, ego akan membentuk berbagai bentuk pertahanan. Salah satunya dikenal dengan repression, suatu proses pertahanan dimana ego akan segera menekan sebuah pengalaman menyakitkan entah ketika terjadi pada masa kecil atau bahkan saat prenatal dengan TANPA DISADARI ke subconsiouss atau bahkan ke praconsiouss oleh manusia sehingga ia akan terkesan baik-baik saja. Namun, ketika ada trigger atau stimulus yang sesuai, maka muncullah berbagai symptom yang kemudian dikategorikan sebagai sebuah ‘personality disorder’ atau gangguan kepribadian. Seseorang bisa berhalusinasi, memunculkan waham, ataupun delusi. Ilusi adalah suatu kondisi dimana individu menganggap nyata suatu objek yang sesungguhnya tidak ada secara fakta. Delusi adalah kondisi dimana individu menginterpretasikan sebuah fakta secara melenceng dari kenyataannya. Dan waham adalah sebuah keyakinan keliru yang tidak nyata, seperti merasa ada yang akan membunuh, dll.


Sekarang kita akan berbicara sejarah istilah brainwash. Ketika berbicara brainwash, kita akan sangat dekat dengan pembahasan bagaimana sebuah stimuli mempengaruhi subconsciouss dan praconciouss manusia. Dan tentu saja, ego serta superego turut mengambil peran di dalamnya. Dalam penelitian secara intensif yang dilakukan oleh Dick Sutphen yang dipresentasikan dalam Kongres Tingkat Dunia untuk Profesi Hypnosis di Las Vegas, Nevada mengenai teknik brainwashing dalam dunia public saat ini, dia banyak bercerita bagaimana sejarah dan metode brainwashing yang terjadi pada masyarakat. Penelitian ini pertama kali dilakukan oleh seorang kristiani Jonathan Edwards yang secara tidak sengaja menemukan teknik ini dalam perang salib pada tahun 1735 di Northampton, Massachusets. Dia mengkondisikan otak tentaranya dalam situasi datar dengan rasa bersalah dan memasukkan pemahaman secara akut akan dosa melalui perkataan repetitive “Kau adalah pendosa takdirmu adalah neraka”. Hasilnya, ada yang bunuh diri dan sebagian lain berniat untuk bunuh diri. Pavlov di tahun 1900 melanjutkan penelitian ini pada hewan yang menghasilkan teori Unconditional behavior dan kemudian dilanjutkan oleh Lenin yang dilakukan pada manusia dan selanjutnya mengurai tiga tahapan penerimaan otak. Tahap equivalent dimana otak memberikan respon yang sama terhadap stimuli kuat dan lemah, tahap paradoxical dimana otak memberikan respon yang lebih kuat terhadap stimuli yang lebih lemah ketimbang setimuli yang kuat,dan tahap ultra paradoxical dimana respon dan prilaku dikondisikan secara terbalik dari positif menjadi negative dan dari negative menjadi positif. Tahap inilah, prinsip brainwashing ditujukan.


Teknik utama dalam brainwash adalah sesuatu yang sifatnya repetitive dan intensif. Akan lebih dipermudah apabila dibantuu dengan perangkat tambahan seperti music dengan ketukan 45-72 permenit yang seirama dengan detak jantung manusia, atau dengan ucapan yang memiliki irama 35-60 ketukan permenit. Pinsip tersebut yang kemudian digunakan dalam dunia periklanan dalam mempengaruhi penonton untuk membeli atau memilih sebuah produk. Prinsip ini pula yang digunakan Hitler untuk mendoktrinasi tentara dan masyarakatnya. Dan, tentu saja aktivitas repetitive lainnya bahkan termasuk shalat dan bacaanya akan menyiapkan otak untuk sebuah proses brainwashing. Mengapa shalat bisa menyiapkan otak secara tepat untuk terjadinya proses brainwashing, karena kondisi yang paling gampang memasukkan program baru ke dalam otak adalah kondisi alpha. Kondisi alpha akan sangat mudah tercapai dalam situasi tenang dan relaks. Dan shalat sama halnya dengan meditasi dapat menciptakan situasi ini. Celakanya, apabila dalam subconsiouss atau pun praconsiouss manusia terdapat banyak emosi menyakitkan yang telah direpresh sebagaimana telah diulas bagian awal, maka dalam kondisi alpha ini pun bisa muncul kembali ke permukaan consiouss mind. Sehingga, ketika subconsiouss mind belum tertangani dengan baik, maka stimulus yang mirip akan diasosiaskan dengan pengalaman yang tidak disadarinya itu. Atau bisa juga karena pengkondisian akan superego mengenai moral baik dan buruk. Sebagai contoh, seseorang yang dulunya pernah mengalami pelecehan seksual sewaktu kecil dan defense mechanism dari system ego secara otomatis memilih proses repress yang sama sekali tidak disadari sehingga terlupakan ketika dewasa, apabila suatu saat mendapat stimuli yang dianggap mirip ditambah dia seringkali melatih diri untuk berada dalam kondisi alpha tersebut, maka dia akan menyebut peristiwa yang dialaminya sama dengan pengalaman sebelumnya. Di sini, akhirnya kita perlu melihat apakah pengalaman yang dianggap sebagai pelecehan seksual adalah sebuah proses brainwashing melalui sebuah metode pengkondisian atau justru sebaliknya pengkondisian ini membuat pengalaman masa lalu muncul kembali sehingga timbullah suatu proses yang disebut delusi “menginterpretasikan pengalaman secara keliru dari kenyataannya” ??!


Saya tidak akan menyimpulkan apapun. Saya hanya ingin memberikan sebuah quote dari seorang psikolog kontemporer dari Universitas California Profesor Rosch, PHD yang banyak melakukan penelitian antara psikologi dan meditasi. "Don't believe everything you think". Dalam artikelnya yang dimuat di American Psychological Association journal dia menyatakan sebagai berikut, “Psychology has traditionally viewed religious or meditative experience as separate from consciousness. Instead, Rosch holds that the field ought to study such experience
"to challenge our image of what normal everyday consciousness itself may be." In her view, consciousness is a limited way of knowing, while meditation-induced "awareness" is a broader, wiser way of knowing--a sort of expanded consciousness”.