Friday, 21 May 2010

Pidato Farewell Sri Mulyani Indrawati

Saya berhasil dan menang karena tidak didikte oleh siapa pun. Saya merasa berhasil karena saya tidak mengingkari nurani saya, dan saya masih menjaga martabat, serta menjaga harga diri saya. Maka saat ini saya menang
-- Sri Mulyani Indrawati.

Ini ya transkrip dari kuliahnya SMI tgl 18 Mei 2010
Semoga bermanfaat dan menjadi bahan pertimbangan
untuk menilai baik-buruk nya seseorang... :-)

Dikutip dari 'kuliah' SMI:
"Saya ingin menceritakan cerita seperti ini kepada anda bagaimana ternyata konsep mengenai etika dan konflik kepentingan itu, bisa dikatakan sangat langka di republik ini. Dan kalau kita berusaha untuk menjalankan dan menegakkan, kita dianggap menjadi barang yang aneh."

Saya rasanya lebih berat berdiri disini daripada waktu dipanggil pansus Century. Dan saya bisa merasakan itu karena sometimes dari moral dan etikanya jelas berbeda. Dan itu yang membuat saya jarang sekali merasa grogi sekarang menjadi grogi. Saya diajari pak Marsilam untuk memanggil orang tanpa mas atau bapak, karena diangap itu adalah ekspresi egalitarian. Saya susah manggil 'Marsilam', selalu pakai 'pak', dan dia marah. Tapi untuk Rocky saya malam ini saya panggil Rocky (Rocky Gerung dari P2D) yang baik. Terimakasih atas...... (tepuk tangan)
;;

Tapi saya jelas nggak berani manggil Rahmat Toleng dengan Rahmat Tolengtor, kasus. Terimakasih atas introduksi yang sangat generous. Saya sebetulnya agak keberatan diundang malam hari ini untuk dua hal. Pertama karena judulnya adalah memberi kuliah. Dan biasanya kalau memberi kuliah saya harus, paling tidak membaca textbook yang harus saya baca dulu dan kemudian berpikir keras bagaimana menjelaskan.

Dan malam ini tidak ada kuliah di gedung atau di hotel yang begitu bagus tu biasanya kuliah kelas internasional atau spesial biasanya. Hanya untuk eksekutif yang bayar SPP nya mahal. Dan pasti neolib itu (disambut tertawa). Oleh karena itu saya revisi mungkin namanya lebih adalah ekspresi saya untuk berbicara tentang kebijakan publik dan etika publik.
Yang kedua, meskipun tadi mas Rocky menyampaikan, eh salah lagi. Kalau tadi disebutkan mengenai ada dua laki-laki, hati kecil saya tetap saya akan mengatakan sampai hari ini saya adalah pembantu laki-laki itu (tepuk tangan). Dan malam ini saya akan sekaligus menceritakan tentang konsep etika yang saya pahami pada saat saya masih pembantu, secara etika saya tidak boleh untuk mengatakan hal yang buruk kepada siapapun yang saya bantu. Jadi saya mohon maaf kalau agak berbeda dan aspirasinya tidak sesuai dengan amanat pada hari ini.

Tapi saya diminta untuk bicara tentang kebijakan publik dan etika publik. Dan itu adalah suatu topik yang barangkali merupakan suatu pergulatan harian saya, semenjak hari pertama saya bersedia untuk menerima jabatan sebagai menteri di kabinet di Republik Indonesia itu.

Suatu penerimaan jabatan yang saya lakukan dengan penuh kesadaran, dengan segala upaya saya untuk memahami apa itu konsep jabatan publik. Pejabat negara yang pada dalam dirinya, setiap hari adalah melakukan tindakan, membuat pernyataan, membuat keputusan, yang semuanya adalah dimensinya untuk kepentingan publik.

Disitu letak pertama dan sangat sulit bagi orang seperti saya karena saya tidak belajar, seperti anda semua, termasuk siapa tadi yang menjadi MC, tentang filosofi. Namun saya dididik oleh keluarga untuk memahami etika di dalam pemahaman seperti yang saya ketahui. Bahwa sebagai pejabat publik, hari pertama saya harus mampu untuk membuat garis antara apa yang disebut sebagai kepentingan publik dengan kepentingan pribadi saya dan keluarga, atau kelompok.

Dan sebetulnya tidak harus menjadi muridnya Rocky Gerung di filsafat UI untuk pintar mengenai itu. Karena kita belajar selama 30 tahun dibawah rezim presiden Soeharto. Dimana begitu acak hubungan, dan acak-acakan hubungan antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi. Dan itu merupakan modal awal saya untuk memahami konsekuensi menjadi pejabat publik yang setiap hari harus membuat kebijakan publik dengan domain saya sebagai makhluk, yang juga punya privacy atau kepentingan pribadi.

Di dalam ranah itulah kemudian dari hari pertama dan sampai lebih dari 5 tahun saya bekerja untuk pemerintahan ini. Topik mengenai apa itu kebijakan publik dan bagaimana kita harus, dari mulai berpikir, merasakan, bersikap, dan membuat keputusan menjadi sangat penting. Tentu saya tidak perlu harus mengulangi, karena itu menyangkut, yang disebut, tujuan konstitusi, yaitu kepentingan masyarakat banyak. Yaitu mencapai kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur.

Jadi kebijakan pubik dibuat tujuannya adalah untuk melayani masyarakat, Kebijakan publik dibuat melalui dan oleh kekuasaan. Karena dia dibuat oleh institusi publik yang eksis karena dia merupakan produk dari suatu proses politik dan dia memiliki kekuasaan untuk mengeluarkannya. Disitulah letak bersinggungan, apa yang disebut sebagai ingridient utama dari kebijakan publik, yaitu unsur kekuasaan. Dan kekuasaan itu sangat mudah menggelincirkan kita.

Kekuasaan selalu cenderung untuk corrupt. Tanpa adanya pengendalian dan sistim pengawasan, saya yakin kekuasaan itu pasti corrupt. Itu sudah dikenal oleh kita semua. Namun pada saat anda berdiri sebagai pejabat publik, memiliki kekuasan dan kekuasan itu sudah dipastikan akan membuat kita corrupt, maka pertanyaan 'kalau saya mau menjadi pejabat publik dan tidak ingin corrupt, apa yang harus saya lakukan?'

Oleh karena itu, di dalam proses-proses yang dilalui atau saya lalui, jadi ini lebih saya cerita daripada kuliah. Dari hari pertama, karena begitu khawatirnya, tapi juga pada saat yang sama punya perasaan anxiety untuk menjalankan kekuasaan, namun saya tidak ingin tergelincir kepada korupsi, maka pada hari pertama anda masuk kantor, anda bertanya dulu kepada sistem pengawas internal anda dan staff anda. Apalagi waktu itu jabatan dari Bappenas menjadi Menteri Keuangan. Dan saya sadar sesadar sadarnya bahwa kewenangan dan kekuasaan Kementrian Keuangan atau Menteri Keuangan sungguh sangat besar. Bahkan pada saat saya tidak berpikir corrupt pun orang sudah berpikir ngeres mengenai hal itu.

Bayangkan, seseorang harus mengelola suatu resources yang omsetnya tiap tahun sekitar, mulai dari saya mulai dari 400 triliun sampai sekarang diatas 1000 triliun, itu omset. Total asetnya mendekati 3000 triliun lebih.(batuk2) Saya lihat (ehem!) banyak sekali (ehem lagi) kalau bicara uang terus langsung.... (ada air putih langsung datang diiringi ketawa hadirin).

Saya sudah melihat banyak sekali apa yang disebut tata kelola atau governance. pada saat seseorang memegang suatu kewenangan dimana melibatkan uang yang begitu banyak. Tidak mudah mencari orang yang tidak tergiur, apalagi terpeleset, sehingga tergoda bahwa apa yang dia kelola menjadi seolah-olah menjadi barang atau aset miliknya sendiri.

Dan disitulah hal-hal yang sangat nyata mengenai bagaimana kita harus membuat garis pembatas yang sangat disiplin. Disiplin pada diri kita sendiri dan dalam, bahkan, pikiran kita dan perasaan kita untuk menjalankan tugas itu secara dingin, rasional, dengan penuh perhitungan dan tidak membolehkan perasaan ataupun godaan apapun untuk, bahkan berpikir untuk meng-abusenya.

Barangkali itu istilah yang disebut teknokratis. Tapi saya sih menganggap bahwa juga orang yang katanya berasal dari akademik dan disebut tekhnokrat tapi ternyata 'bau'nya tidak seperti itu. Tingkahnya apalagi lebih-lebih. Jadi saya biasanya tidak mengklasifikasikan berdasarkan label. Tapi berdasarkan genuine product nya dia hasilnya apa, tingkah laku yang esensial.

Nah, di dalam hari-hari di mana kita harus membicarakan kebijakan publik, dan tadi disebutkan bahwa kewenangan begitu besar, menyangkut sebuah atau nilai resources yang begitu besar. Kita mencoba untuk menegakkan rambu-rambu, internal maupun eksternal.

Mungkin contoh untuk internal hari pertama saya bertanya kepada Inspektorat Jenderal saya. "Tolong beri saya list apa yang boleh dan tidak boleh dari seorang menteri." Biasanya mereka bingung, tidak pernah ada menteri yang tanya begitu ke saya bu.
.
Kalau seorang menteri kemudian menanyakan apa yang boleh dan nggak boleh, buat mereka menjadi suatu pertanyaan yang sangat janggal. Untuk kultur birokrat, itu sangat sulit dipahami. Di dalam konteks yang lebih besar dan alasan yang lebih besar adalah dengan rambu-rambu. Kita membuat standard operating procedure, tata cara, tata kelola untuk membuat bagaimana kebijakan dibuat. Bahkan menciptakan sistem check and balance.

Karena kebijakan publik dengan menggunakan elemen kekuasaan, dia sangat mudah untuk memunculkan konflik kepentingan. Saya bisa cerita berhari-hari kepada anda. Banyak contoh di mana produk-produk kebijakan sangat memungkinkan seorang, pada jabatan Menteri Keuangan, mudah tergoda. Dari korupsi kecil hingga korupsi yang besar. Dari korupsi yang sifatnya hilir dan ritel sampai korupsi yang sifatnya upstream dan hulu.

Dan bahkan dengan kewenangan dan kemampuannya dia pun bisa menyembunyikan itu. Karena dengan kewenangan yang besar, dia juga sebetulnya bisa membeli sistem. Dia bisa menciptakan network. Dia bisa menciptakan pengaruh. Dan pengaruh itu bisa menguntungkan bagi dirinya sendiri atau kelompoknya. Godaan itulah yang sebetulnya kita selalu ingin bendung. Karena begitu anda tergelincir pada satu hal, maka tidak akan pernah berhenti.

Namun, meskipun kita mencoba untuk menegakkan aturan, membuat rambu-rambu, dengan menegakkan pengawasan internal dan eksternal, sering bahwa pengawasan itu pun masih bisa dilewati. Disinilah kemudian muncul, apa yang disebut unsur etika. Karena etika menempel dalam diri kita sendiri. Di dalam cara kita melihat apakah sesuatu itu pantas atau tidak pantas, apakah sesuatu itu menghianati atau tidak menghianati kepentingan publik yang harus kita layani. Apakah kita punya keyakinan bahwa kita tidak sedang menghianati kebenaran. Etika itu ada di dalam diri kita.

Dan kemudian kalau kita bicara tentang total, atau di dalam bahasa ekonomi yang keren namanya agregat, setiap kepala kita dijumlahkan menjadi etika yang jumlahnya agregat atau publik, pertanyaannya adalah apakah di dalam domain publik ini setiap etika pribadi kita bisa dijumlahkan dan menghasilkan barang publik yang kita inginkan, yaitu suatu rambu-rambu norma yang mengatur dan memberikan guidance kepada kita.

Saya termasuk yang sungguh sangat merasakan penderitaan selama menjadi menteri. Karena (etika) itu tidak terjadi. Waktu saya menjadi menteri, sering saya harus berdiri atau duduk berjam-jam di DPR. Disitu anggota DPR bertanya banyak hal. Kadang-kadang bernada pura-pura sungguh-sungguh. Merek mengkritik begitu keras. Tapi kemudian mereka dengan tenangnya mengatakan 'Ini adalah panggung politik bu.'

Waktu saya dulu masuk menteri keuangan pertama saya masih punya dua Dirjen yang sangat terkenal, Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai saya. Mereka sangat powerful. Karena pengaruhnya, dan respectability, saya tidak tahu karena kepada anggota dewan sangat luar biasa. Dan waktu saya ditanya, mulainya dari...? Segala macem. Setiap keputusan, statemen saya dan yang lain-lain selalu ditanya dengan sangat keras. Saya tadinya cukup naif mengatakan, "Oh ini ongkos demokrasi yang harus dibayar." Dan saya legowo saja dengan tenang menulis pertanyaan-pertanya an mereka.

Waktu sudah ditulis mereka keluar ruangan, nggak pernah peduli mau dijawab atau tidak. Kemudian saya dinasehati oleh Dirjen saya itu, "Ibu tidak usah dimasukkan ke hati bu. Hal seperti itu hanya satu episod drama saja. " Tapi kemudian itu menimbulkan satu pergolakan batin orang seperti saya. Karena saya kemudian bertanya. Tadi dikaitkan dengan etika publik, kalau orang bisa secara terus menerus berpura-pura, dan media memuat, dan tidak ada satu kelompokpun mengatakan bahwa itu kepura-puraan maka kita bertanya, apalagi? siapa lagi yang akan menjadi guidance? yang mengingatkan kita dengan, apa yang disebut, norma kepantasan. Dan itu sungguh berat. Karena saya terus mengatakan kalau saya menjadi pejabat publik, ongkos untuk menjadi pejabat publik, pertama, kalau saya tidak corrupt, jelas saya legowo nggak ada masalah. Tapi yang kedua saya menjadi khawatir saya akan split personality.

Waktu di dewan saya menjadi personality yang lain, nanti di kantor saya akan menjadi lain lagi, waktu di rumah saya lain lagi. Untung suami dan anak-anak saya tidak pernah bingung yang mana saya waktu itu. Dan itu sesuatu yang sangat sulit untuk seorang seperti saya untuk harus berubah-ubah. Kalau pagi lain nilainya dengan sore, dan sore lain dengan malam. Malam lain lagi dengan tengah malam. Kan itu sesuatu yang sangat sulit untuk diterima. Itu ongkos yang paling mahal bagi seorang pejabat publik yang harus menjalankan dan ingin menjalankan secara konsisten.

Nah, oleh karena itu, didalam konteks inilah kita kan bicara mengenai kebijakan publik, etika publik yang seharusnya menjadi landasan, arahan bagi bagaimana kita memproduksi suatu tindakan, keputusan, yang itu adalah untuk urusan rakyat. Yaitu kesejahteraan rakyat, mengurangi penderitaan mereka, menaikkan suasana atau situasi yang baik di masyarakat, namun di sisi lain kita harus berhadapan dengan konteks kekuasaan dan struktur politik. Dimana buat mereka norma dan etika itu nampaknya bisa tidak hanya double standrart, triple standart.

Dan bahkan kalau kita bicara tentang istilah dan konsep mengenai konflik kepentingan, saya betul-betul terpana. Waktu saya menjadi executive director di IMF, pertama kali saya mengenal apa yang disebut birokrat dari negara maju. Hari pertama saya diminta untuk melihat dan tandatangan mengenai etika sebagai seorang executive director, do dan don'ts. Disitu juga disebutkan mengenai konsep konflik kepentingan. Bagaimana suatu institusi yang memprodusir suatu policy publik, untuk level internasional, mengharuskan setiap elemen, orang yang terlibat di dalam proses politik atau proses kebijakan itu harus menanggalkan konflik kepentingannya. Dan kalau kita ragu kita boleh tanya, apakah kalau saya melakukan ini atau menjabat yang ini apakah masuk dalam domain konflik kepentingan. Dan mereka memberikan counsel untuk kita untuk bisa membuat keputusan yang baik.
Sehingga bekerja di institusi seperti itu menurut saya mudah. Dan kalau sampai anda tergelincir ya kebangetan aja anda. Namun waktu kembali ke Indonesia dan saya dengan pemahaman pengenai konsep konflik kepentingan, saya sering menghadiri suatu rapat membuat suatu kebijakan, dimana kebijakan itu akan berimplikasi kepada anggaran, entah belanja, entah insentif, dan pihak yang ikut duduk dalam proses kebijakan itu adalah pihak yang akan mendapatkan keuntungan itu. Dan tidak ada rasa risih. Hanya untuk menunjukkan yang penting pemerintahan efektif, jalan. Kuenya dibagi ke siapa itu adalah urusan sekunder.

Anda bisa melihat bahwa kalau pejabat itu adalah background nya pengusaha, meskipun yang bersangkutan mengatakan telah meninggalkan seluruh bisnisnya, tapi semua orang tahu bahwa adiknya, kakaknya, anaknya, dan teteh, mamah, aa' semuanya masih run. Dan dengan tenangnya, berbagai kebijakan, bahkan yang membuat saya terpana, kalau dalam hal ini apa disebutnya? kalau dalam bahasa inggris apa disebutnya?i drop my job atau apa..bengong itu.

Kita bingung bahwa ada suatu keputusan dibuat, dan saya banyak catatan pribadi saya di buku saya. Ada keputusan ini, tiba-tiba besok lagi keputusan itu ternyata yang mengimport adalah perusahaannya dia.
Nah ini merupakan sesuatu hal yang barangkali tanpa harus mendramatisir yang dikatakan oleh Rocky tadi seolah-olah menjadi the most reasonable phenomena. Kita semua tahu, itulah penyakit yang terjadi di jaman orde baru. Hanya dulu dibuatnya secara tertutup, tapi sekarang dengan kecanggihan, karena kemampuan dari kekuasaan, dia mengkooptasi decision making process juga. Kelihatannya demokrasi, kelihatannya melalui proses check and balance, tapi di dalam dirinya, unsur mengenai konflik kepentingan dan tanpa etika begitu kental. Etika itu barang yang jarang disebut pak.

Ada suatu saat saya membuat rapat dan rapat ini jelas berhubungan dengan beberapa perusahaan. Kebetulan ada beberapa dari yang kita undang, dia adalah komisaris dari beberapa perusahaan itu. Kami biasa, dan saya mengatakan dengan tenang, bagi yang punya aviliasi dengan apa yang kita diskusikan silahkan keluar dari ruangan. Memang itu adalah tradisi yang coba kita lakukan di kementrian keuangan. Kebetulan mereka adlaah teman-teman saya. Jadi teman-teman saya itu dengan bitter mengatakan, "Mba ni jangan sadis-sadis amat lah kayak gitu. Kalaupun kita disuruh keluar juga diem-diem aja. Nggak usah caranya kayak gitu."
Saya ingin menceritakan cerita seperti ini kepada anda bagaimana ternyata konsep mengenai etika dan konflik kepentingan itu, bisa dikatakan sangat langka di republik ini. Dan kalau kita berusaha untuk menjalankan dan menegakkan, kita dianggap menjadi barang yang aneh. Jadi tadi kalau MC nya menjelaskan bahwa saya ingin menjelaskan bahwa di luar gua itu ada sinar dan dunia yang begitu bagus, di dalam saya dianggap seperti orang yang cerita yang nggak nggak aja. Belum kalau di dalam konteks politik besar, kemudian, wah ini konsep barat pasti 'Lihat saja Sri Mulyani, neolib.'

Jadi saya mungkin akan mengatakan bagaimana ke depan di dalam proses politik. Tentu adalah suatu keresahan buat kita. Karena episode yang terjadi beberapa kali adalah bahwa di dalam ruangan publik, rakyat atau masyarakat yang harusnya menjadi the ultimate shareholder dari kekuasaan. Dia memilih, kepada siapapun CEO di republik ini dan dia juga memilih dari orang-orang yang diminta untuk menjadi pengawas atau check terhadap CEO nya.

Dan proses ini ternyata juga tidak murah dan mudah. Sudah banyak orang yang mengatakan untuk menjadi seorang jabatan eksekutif dari level kabupaten, kota, propinsi, membutuhkan biaya yang luar biasa, apalagi presiden pastinya. Dan biayanya sungguh sangat tidak bisa dibayangkan untuk suatu beban seseorang. Saya menteri keuangan saya biasa mengurusi ratusan triliun bahkan ribuan, tapi saya tidak kaget dengan angka. Tapi saya akan kaget kalau itu menjadi beban personal.
Seseorang akan menjadi kandidat mengeluarkan biaya sebesar itu. Kalkulasi mengenai return of investment saja tidak masuk. Bagaimana anda mengatakan dan waktu saya mengatakan saya lihat struktur gaji pejabat negara sungguh sangat tidak rasional. Dan kita pura-pura tidak boleh menaikkan karena kalau menaikkan kita dianggap mau mensejahterakan diri sebelum mensejahterakan rakyat. Sehingga muncullah anomali yang sangat tidak bisa dijelaskan oleh logika akal sehat, bahkan Rocky bilangnya ada akal miring. Saya mencoba sebagai pejabat negara untuk mengembalikan akal sehat dengan mengatakan strukturnya harus dibenahi lagi. Namun toh tetap tidak bisa menjelaskan suatu proses politik yang begitu sangat mahalnya.
Sehingga memunculkan suatu kebutuhan untuk berkolaborasi dengan sumber finansialnya. Dan disitulah kontrak terjadi. Di tingkat daerah, tidak mungkin itu dilakukan dengan membayar melalui gajinya. Bahkan melalui APBD nya pun tidak mungkin karena size dari APBN nya kadang-kadang tidak sebesar atau mungkin juga lebih sulit. Sehingga yang bisa adalah melalui policy. Policy yang bisa dijual belikan. Dan itu adalah adalah bentuk hasil dari suatu kolaborasi.

pertanyaan untuk kita semua, bagaimana kita menyikapi hal ini didalam konteks bahwa produk dari kebijakan publik, melalui sebuah proses politik yang begitu mahal sudah pasti akan di "stated" dengan struktur yang membentuk awalnya. Karena kebijakan publik adalah hilirnya, hasil akhir. Hulunya yang memegang kekuasaan, lebih hulu lagi adalah prosesnya untuk mendapatkan kekuasaan itu demikian mahal.

Dan itu akan menjadi pertanyaan yang concern untuk sebuah sistem demokrasi. Maka pada saat kita dipilih atau diminta untuk menjadi pembantu atau menjadi bagian dari pemerintah, Tentu kita tidak punya ilusi bahwa ruangan politik itu vakum atau hampa dari kepentingan. politik dimana saja pasti tentang kepentingan. Dan kepentingan itu kawin diantara beberapa kelompok untuk mendapatkan kekuasaan itu. Pasti itu perkawinannya adalah pada siapa saja yang menjadi pemenang.

Kalau pada hari ini tadi disebutkan ada yang menanyakan atau menyesalkan atau ada yang menangisi ada yang gelo (jawa:menyesal. red), kenapa kok Sri Mulyani memutuskan untuk mundur dari Menteri Keuangan. Tentu ini adalah suatu kalkulasi dimana saya menganggap bahwa sumbangan saya, atau apapun yang saya putuskan sebagai pejabat publik tidak lagi dikehendaki di dalam sistem politik. Dimana perkawinan kepentingan itu begitu sangat dominan dan nyata. Banyak yang mengatakan itu adalah kartel, saya lebih suka pakai kata kawin, walaupun jenis kelaminnya sama. (ketawa dan tepuktangan)

Karena politik itu lebih banyak lakinya daripada perempuan makanya saya katakan tadi. Hampir semua ketua partai politik laki kecuali satu. Dan di dalam bahwa di mana sistem politik tidak menghendaki lagi atau dalam hal ini tidak memungkinkan etika publik itu bisa dimunculkan, maka untuk orang seperti saya akan menjadi sangat tidak mungkin untuk eksis. Karena pada saat saya menerima tangungjawab untuk menjadi pejabat publik, saya sudah berjanji kepada diri saya sendiri, saya tidak ingin menjadi orang yang akan menghianati dengan berbuat corrupt. Saya tidak mengatakan itu gampang. Sangat painful. Sungguh painful sekali. Dan saya tidak mengatakan bahwa saya tidak pernah mengucurkan atau meneteskan airmata untuk menegakkan prinsip itu. Karena ironinya begitu besar. Sangat besar. Anda memegang kekuasaan begitu besar. Anda bisa, anda mampu, anda bahkan boleh, bahkan diharapkan untuk meng abuse nya oleh sekelompok yang sebetulnya menginginkan itu terjadi agar
nyaman dan anda tidak mau. (tepuk tangan) Pada saat yang sama anda tidak selalu di apresiasi. P2D kan baru muncul sesudah saya mundur (ketawa, disini dia terlihat mengusapkan saputangan ke matanya).
Jadi ya terlambat tidak apa-apa, terbiasa. Saya masih bisa menyelamatkan republik ini lah.
Jadi saya tidak tahu tadi, Rocky tidak ngasih tahu saya berapa menit atau berapa jam. Soalnya diatas jam 9 argonya lain lagi nanti. Jadi saya gimana harus menutupnya. Nanti kayaknya nyanyi aja balik terus nanti.

Mungkin saya akan mengatakan bahwa pada bagian akhir kuliah saya ini atau cerita saya ini saya ingin menyampaikan kepada semua kawan-kawan disini. Saya bukan dari partai politik, saya bukan politisi, tapi tidak berarti saya tidak tahu politik. Selama lebih dari 5 tahun saya tahu persis bagaimana proses politik terjadi. Kita punya perasaan yang bergumul atau bergelora atau resah. Keresahan itu memuncak pada saat kita menghadapi realita jangan-jangan banyak orang yang ingin berbuat baik merasa frustrasi. Atau mungkin saya akan less dramatic. Banyak orang-orang yang harus dipaksa untuk berkompromi dan sering kita menghibur diri dengan mengatakan kompromi ini perlu untuk kepentingan yang lebih besar. Sebetulnya cerita itu bukan cerita baru, karena saya tahu betul pergumulan para teknokrat jaman Pak Harto, untuk memutuskan stay atau out adalah pada dilema, apakah dengan stay saya bisa membuat kebijakan publik yang lebih baik sehingga menyelamatkan suatu
kerusakan yang lebih besar. Atau anda out dan anda disitu akan punya kans untuk berbuat atau tidak, paling tidak resiko getting associated with menjadi less. Personal gain, public loss. If you stay, dan itu yang saya rasakan 5 tahun, you suddenly feel that everybody is your enemy.

Karena no one yang sangat simpati dan tahu kita pun akan tidak terlalu happy karena kita tetap berada di dalam sistem. Yang tidak sejalan dengan kita, juga jengkel karena kita tidak bisa masuk kelompok yang bisa diajak enak-enakan. Sehingga anda di dalam di sandwich di dua hal itu. Dan itu bukan suatu pengalaman yang mudah. Sehingga kita harus berkolaborasi untuk membuat space yang lebih enak, lebih banyak sehingga kita bisa menemukan kesamaan.

Nah kalau kita ingin kembali kepada topiknya untuk menutup juga, saya rasa forum-forum semacam ini atau saya mengatakan kelompok seperti anda yang duduk pada malam hari ini adalah kelompok kelas menengah. YAng sangat sadar membayar pajak. Membayarnya tentu tidak sukarela, tidak seorang yang patriotik yang mengatakan dia membayar pajak sukarela. Tapi meskipun tidak sukarela, anda sadar bahwa itu adalah suatu kewajiban untuk menjaga republik ini tetap berdaulat. Dan orang seperti anda yang tau membayar pajak adalah kewajiban dan sekaligus hak untuk menagih kepada negara, mengembalikan dalam bentuk sistim politik yang kita inginkan. Maka sebetulnya di tangan orang-orang seperti anda lah republik ini harus dijaga. Sungguh berat, dan saya ditanya atau berkali-kali di banyak forum untuk ditanya, kenapa ibu pergi? Bagaimana reformasi, kan yang dikerjakan semua penting. Apakah ibu tidak melihat Indonesia sebagai tempat untuk pengabdian yang lebih penting
dibandingkan bank dunia.

Seolah-olah sepertinya negara ini menjadi tanggungjawab Sri Mulyani. Dan saya
keberatan. Dan saya ingin sampaikan di forum ini karena anda juga bertanggungjawab kalau bertanya hal yang sama ke saya. Anda semua bertanggungjawab sama seperti saya. Mencintai republik ini dengan banyak sekali pengorbanan sampai saya harus menyampaikan kepada jajaran pajak, jajaran bea cukai, jajaran perbendaharaan, "Jangan pernah putus asa mencintai republik." Saya tahu, sungguh sulit mengurusnya pada masa-masa transisi yang sangat pelik.

Kecintaan itu paling tidak akan terus memelihara suara hati kita. Dan bahkan menjaga etika kita di dalam betindak dan berbuat serta membuat keputusan. Dan saya ingin membagi kepada teman-teman disini, karena terlalu banyak di media seolah-olah ditunjukkan yang terjadi dari aparat di kementrian keuangan yang sudah direformasi masih terjadi kasus seperti Gayus.
Saya ingin memberikan testimoni bahwa banyak sekali aparat yang betul-betul genuine adalah orang-orang yang dedicated. Mereka yang cinta republik sama seperti anda. Mereka juga kritis, mereka punya nurani, mereka punya harga diri. Dia bekerja pada masing-masing unit, mungkin mereka tidak bersuara karena mereka adalah bagian dari birokrat yang tidak boleh bersuara banyak tapi harus bekerja.

Sebagian kecil adalah kelompok rakus, dan dengan kekuasaan sangat senang untuk meng abuse. Tapi saya katakan sebagian besar adalah orang-orang baik dan terhormat. Saya ingin minta tolong dibantu, berilah ruang untuk orang-orang ini untuk dikenali oleh anda juga dan oleh masyarakat. Sehingga landscape negara ini tidak hanya didominasi oleh cerita, oleh tokoh, apalagi dipublikasi dengan seolah-oalh menggambarkan bahwa seluruh sistem ini adalah buruk dan runtuh. Selama seminggu ini saya terus melakukan pertemuan dan sekaligus perpisahan dengan jajaran di kementrian keuangan dan saya bisa memberikan, sekali lagi, testimoni bahwa perasaan mereka untuk membuktikan bahwa reform bisa jalan ada disana. Bantu mereka untuk tetap menjaga api itu. Dan jangan kemudian anda disini bicara dengan saya, ya bisa diselamatkan kalau sri mulyani tetap menjadi Menteri keuangan. Saya rasa tidak juga.

Suasana yang kita rasakan pada minggu-minggu yang lalu, bulan-bulan yang lalu, seolah-olah persoalan negara ini disandera oleh satu orang, sri mulyani. Sedemikian pandainya proses politik itu diramu sedemikian sehingga seolah-olah persoalannya menjadi persoalan satu orang. Seseorang yang pada sautu ketika dia harus membuat keputusan yang sungguh tidak mudah, dengan berbagai pergumulan, kejengkelan, kemarahan, kecapekan, kelelahan, namun dia harus tetap membuat kebijakan publik. Dia berusaha, berusaha di setiap pertemuan, mencoba untuk meneliti dirinya sendiri apakah dia punya kepentingan pribadi atau kelompok, dan apakah dia diintervensi atau tidak, apakah dia membuat keputusan karena ada tujuan yang lain. Berhari-hari, berjam-jam dia bertanya, dia minta, dia mengundang orang dan orang-orang ini yang tidak akan segan mengingatkan kepada saya. Meskipun mereka tahu saya menteri, mereka lebih tua dari saya. Orang seperti pak Darmin, siapa yang bisa bilang
atau marahin pak marsilam? Wong semua orang dimarahin duluan sama dia.

Mereka ada disana hanya untuk mengingatkan saya berbagai rambu-rambu, berbagai pilihan dan pilihan sudah dibuat. Dan itu dilaporkan, dan itu diaudit dan itu kemudian dirapatkan secara terbuka. Dan itu kemudian dirapatkerjakan di DPR. Bagaimana mungkin itu kemudia 18 bulan kemudian dia seolah-olah menjadi keputusan individu seorang Sri Mulyani. Proses itu berjalan dan etika sunyi. Akal sehat tidak ada. Dan itu memunculkan suatu perasaan apakah pejabat publik yang tugasnya membuat kebijakan publik pada saat dia sudah mengikuti rambu-rambu, dia masih bisa divictimize oleh sebuah proses politik.

Saya hanya mengatakan, kalau dulu pergantian rezim orde lama ke orde baru, semua orang di stigma komunis, kalau ini khusus didisain pada era reformasi seorang distigma dengan sri mulyani identik dengan century. Mungkin kejadiannya di satu orang saja, tapi sebetulnya analogi dan kesamaan mengenai suatu penghakiman telah terjadi.
Sebetulnya disitulah letak kita untuk mulai bertanya, apakah proses politik yang didorong, yang dimotivate, yang ditunggangi oleh suatu kepentingan membolehkan seseorang untuk dihakimi, bahkan tanpa pengadilan. Divonis tanpa pengadilan. Itu barangkali adalah suatu episod yang sebetulnya sudah berturut-turut kita memahami konsekuensi sebagai pejabat publik yang tujuannya membuat kebijakan publik, dan berpura-pura seolah-olah ada etika dan norma yang menjadi guidance kita dibenturkan dengan realita-realita politik.

Dan untuk itu, saya hanya ingin mengatakan sebagai penutup, sebagian dari anda mengatakan apakah Sri mulyani kalah, apakah sri mulyani lari? Dan saya yakin banyak yang menyesalkan keputusan saya. Banyak yang menganggap itu adalah suatu loss atau kehilangan. Diantara anda semua yang ada disini, saya ingin mengatakan bahwa saya menang. Saya berhasil. Kemenangan dan keberhasilan saya definisikan menurut saya karena tidak didikte oleh siapapun termasuk mereka yang menginginkan saya tidak disini. (applause)

Saya merasa berhasil dan saya merasa menang karena definisi saya adalah tiga. Selama saya tidak menghianati kebenaran, selama saya tidak mengingkari nurani saya, dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga diri saya, maka disitu saya menang.

Terimakasih

Wednesday, 19 May 2010

SURAH IBLIS * (catatan A. Yulden Ervin)


*

Wahai, Anak-Cucu Hawa, dulu telah kuingkari Keilahian dalam tubuh Adam, hingga aku pun terpisah dari Yang Maha Nyata. Lalu, aku menjelma jadi pengembara malam. Kini kusadari seluruh semesta beserta segala isinya adalah perwujudan dari Yang Maha Nyata. Maka, ijinkan kini aku bersujud mencium ujung kaki-Mu, duhai, Anak-Cucu Hawa. (Ayat 1)

Bagaimana mereka bisa terus menyembah-Nya, sementara mereka terus mencuri kekayaan negara? Bagaimana mereka bisa mengaku umat pembawa rahmat, sementara mereka sibuk menipu rakyat? (Ayat 2)

Sesungguhnya, jika kalian bertemu orang-orang kafir di jalan, janganlah penggal kepala mereka, janganlah perangi mereka, namun peluklah mereka dan mintalah maaf atas kekafiran yang tersembunyi di dalam hatimu selama berabad-abad. Niscaya kalian akan menjadi umat pembawa rahmat. (Ayat 3)

Sesungguhnya, kekafiran dalam hatimu itulah yang membuatmu menolak keragaman, padahal itu jelaslah kenyataan yang tak terbantahkan. Dan saat kau menyadari kebodohan di dalam hatimu, maka kau hanya melihat Kesatuan di segenap penjuru. (Ayat 4)

Apakah kalian berpikir Allah telah berhenti berkata-kata? Apakah kalian berpikir Allah telah bisu dan sekedar jadi penonton saja? Lampaui pikiran dan setiap saat kau dapat mendengar firman-Nya. Lampaui pikiran dan setiap saat kau dapat menatap wajah-Nya. (Ayat 5)


*

“Dien-Mu adalah Dien-Ku, Dien-Ku adalah Dien-Mu.” (Ayat 6)

“Demi waktu yang mengalir dalam Keabadian! Sesungguhnya shalatmu, ibadahmu, hidupmu, dan matimu adalah sebuah Perayaan. Maka, rayakanlah itu dalam Keheningan.” (Ayat 7)

“Demi kupu-kupu yang beterbangan, demi bunga-bunga yang bermekaran, sesungguhnya Kami telah menurunkan Kalam yang membawa kedamaian agar kalian dapat saling berkasih-sayang, agar kalian dapat saling berbagi terang, dan bukannya saling berperang.” (Ayat 8)

“Demi bukit-bukit yang berlari, demi langit yang seluas hati, barangsiapa mencintai kata-kata Ilahi lebih daripada mencintai sesama mahluk di bumi, sungguh ia termasuk golongan orang-orang merugi.” (Ayat 9)

“Tanyakan kepada para pembenci: Manakah yang lebih mulia di sisi Yang Maha Suci, menumpahkan darah saudaramu di bumi, ataukah menitikkan airmata atas kebutaan hatimu sendiri?” (Ayat 10)

“Wahai, Anak-Cucu Hawa, telah Kami ciptakan surga dan neraka di dalam pikiran orang-orang yang masih membutuhkannya. Namun, bagi mereka yang telah melebur berhala pikiran dengan Api-Cinta, maka mereka pun kekal di dalam lindungan Yang Maha Nyata.” (Ayat 11)

“Wahai, kalian yang telah berani mewartakan Keheningan, bersiaplah untuk Kuhina, Kubatui, dan Kusalibkan – bersiaplah untuk Dibangunkan!” (Ayat 12)


*

Wahai, kaum munafik, kalian seperti rabbi-rabbi Yahudi yang berkomplot dengan penguasa Romawi. Kalian telah menyalibkan Anak-Manusia dan memfitnahnya sebagai penghujah Ilahi. Sesungguhnya kalian hanya takut pundi-pundi uang kalian menjadi berkurang. Lalu tanpa malu kalian kibarkan panji-panji perang. Lalu kalian redam setiap suara berbeda sebagai fitnah yang jalang. Lalu kalian berpikir segala siasah politik yang kalian lemparkan akan menghantarkan kalian ke taman Firdausi, seolah Tuhan Yang Maha Kuasa – yang kalian sembah lima kali sehari – dapat kalian tipu dengan dalih penegakan hukum Ilahi. Sungguh, kalian telah menipu diri sendiri! (Ayat 13)

Wahai, kaum munafik, kalian sibuk membuat hukum untuk mencambuk para penjudi, kalian sibuk mensiasah aturan untuk merajam para penzinah sampai mati, namun sekutu kalian yang menzinahi anggaran negara dapat terus kalian maklumi. Sungguh, dusta apa lagi yang akan kalian hujahkan kepada Yang Maha Suci, sementara kalian terus-menerus memperjudi hak asasi insan di bumi? Sungguh, kalian telah menipu diri sendiri! (Ayat 14)

Katakan kepada para penyembah batu: Jika kalian mencintai Pembawa Pesan Terakhir itu, mengapa kalian tinggalkan ia sendirian meregang nyawa di dalam biliknya, mengapa kalian sibuk berbagi kekuasaan tatkala wafatnya, mengapa kalian bunuh keluarga dan anak keturunannya? Dimanakah itu para sahabat yang dulu berbaiat akan bersetia sampai mati? Wahai, kaum penyembah batu, kelak kalian akan saling bertikai dan membunuh sesama kalian sendiri, kelak kalian akan berbangga membunuh diri kalian sendiri. Sungguh, kalian termasuk golongan orang-orang merugi. (Ayat 15)

Ada tertulis: Surga berada di bawah telapak kaki Ibu. Namun, kukatakan kepadamu: Bumi yang sekarang berada di bawah telapak kaki Ibumu, itulah pula yang sekarang menjadi surgamu. (Ayat 16)

Ada tertulis: Jika ditampar pipi kirimu, berikanlah pula pipi kananmu. Namun, kukatakan kepadamu: Jika kedua pipimu yang ditampar, berikan saja sekalian kepalamu. Andai seluruh kepalamu sudah habis ditampar, maka berikanlah seluruh hatimu. (Ayat 17)

Ketahuilah, wahai, para penabur kebencian: Para pengecut hanya mampu bersembunyi di balik kata-kata Tuhan, namun para pemberani menghidupkan kata-kata Tuhan. (Ayat 18)

Katakan kepada para penyembah batu di negeri jiran: Cinta kepada Tuhan haruslah membawa perdamaian dan keadilan; sesungguhnya Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang amatlah jauh dari apa yang kalian sangkakan. (Ayat 19)

Katakan kepada para penyembah batu di negeri jiran: Sesungguhnya, Hakikat yang kalian sembah itu tidaklah bernama, karena setiap nama yang kalian nisbahkan kepada-Nya hanyalah buah pikiran manusia. Lalu, jika mereka berkata: “Berikan kami sebuah umpama.” Maka, katakan kepada mereka: Itu penaka Ruang yang memungkinkan batu-batu menjadi nyata, yang memungkinkan segalanya menjadi Ada. (Ayat 20)

Wahai, Anak-Cucu Hawa, sesungguhnya Ruang yang Esa itu ada di dalam kuil dan vihara, ada di dalam masjid dan gereja, ada di dalam sinagoga dan di mana-mana. Namun, jika mereka beranggapan hanya ruang tempat ibadah mereka satu-satunya yang nyata, maka tinggalkanlah mereka, karena sesungguhnya mereka berada dalam kebodohan yang nyata. Mereka adalah kaum yang telah mencampakkan hatinya. (Ayat 21)

Katakan kepada mereka yang merasa menjadi pembela Tuhan, yang merasa berhak menghujah dan mengafirkan: Singkirkan terlebih dahulu kebencian yang bersemayam dalam hati kalian, karena tiada satu pun dari kalian yang pernah melihat Tuhan, maka marilah bersama menundukkan kepala dalam Keheningan. (Ayat 22)


*

Duhai, Yang Maha Satu, berikanlah semua keburukan dan duka kepadaku, serta limpahkanlah seluruh kebaikan dan bahagia kepada selain aku. Amin. (Ayat 23)

Tuesday, 11 May 2010

Hanya Orang Buta Huruf dan Sok Tahu Yang Berani Mendiskripsikan Tuhan

Kalau diperhatikan perdebatan soal Tuhan di Milis atau di FB, ada kesan mereka seolah-olah paham siapa atau apa itu Tuhan dan masing-masing mempertahkankan apa yang dianggapnya paling benar, tidak jarang mereka berani mencaci maki lawan diskusinya secara tidak senonoh seolah-olah mau membala Tuhan mereka. Padahal Tuhan tidak pernah ambil pusing dengan omongan manusia dan Tuhan tidak minta dibela. Dan memang aneh di satu sisi mereka mengatakan Tuhan Maha Besar, Tuhan Maha Kuasa tetapi dengan sok jago mereka mau menjadi pembela dari yang Maha Kuasa, lucu sekali yah.

Di dunia ini sejak manusia berkesadaran dan lahirnya peradaban masalah Tuhan sudah banyak dibahas dan karena sulit mendiskripsikan apa atau siapa Tuhan orang-orang besar tidak pernah dapat mendiskripsikan Tuhan secara sempurna dan mereka menyadari tidak sanggup mendiskripsikan Tuhan secara benar, karena itu yang mereka lakukan adalah pendekatan dan penyedehanaan.

Para perintis agama Hindu mencari Tuhan di balik kekuatan alam yang dapat ditemui atau dilihat atau dirasakan setiap hari. Karena itu mereka mengatakan pasti ada Dewa Angin yang menggerakan angin. Pasti ada Dewa Matahari yang mengatur peredatan Matahari, pasti ada Dewa Kematian yang mengurus soal mati dan semua Dewa-dewa pasti ada di bawah satu koordinasi Sang Hyang Widi. Apakah diskripsi tersebut sempurna? Pasti tidak dan mereka tidak pernah mengatakan apa yang didiskripsikan tersebut paling sempurna dan kalau ada pendapat yang berbeda pasti salah.

Sidharta Gautama tidak menyelidiki kekuatan Tuhan yang ada di jagad raya, tetapi kagum dengan apa yang ada di dalam diri yang ternyata tidak sepenuhnya berada dalam kendali manusia. Sidharta mencari Tuhan yang ada di dalam diri manusia dan kemudian mendapatkan penerangan sempurna. Apakah diskripsi Tuhan menurut Buddha adalah yang paling benar? Tidak, Buddha tidak pernah mengatakan bahwa Tuhan hanya ada di dalam diri manusia. Lalu bagaimana dengan Tuhan yang ada di luar diri manusia? Buddha tidak membahas soal itu dan membuka difinisi lain untuk melengkapi diskripsi Tuhan yang memang tidak sempurna.

Orang Yahudi dalam perjalanannya membangun bangsa dan mencari Tanah Air menyederhanakan konsep Tuhan menjadi sosok pemimpin tertinggi bangsa Israel. Bagaimana sosok Tuhan menurut orang Yahudi dapat kita lihat di bawah ini.

Imamat 23:1-2 TUHAN berfirman kepada Musa: Berbicaralah kepada orang Israel dan katakan kepada mereka: ....
Allah Israel hanya bicara kepada orang Israel.

Imamat 26:1 Janganlah kamu membuat berhala bagimu, dan patung atau tugu berhala janganlah kamu dirikan bagimu; juga batu berukir janganlah kamu tempatkan di negerimu untuk sujud menyembah kepadanya, sebab Akulah TUHAN, Allahmu.

Imamat 26:14-16
Tetapi jikalau kamu tidak mendengarkan Daku, dan tidak melakukan segala perintah itu, jikalau kamu menolak ketetapan-Ku dan hatimu muak mendengar peraturan-Ku, sehingga kamu tidak melakukan segala perintah-Ku dan kamu mengingkari perjanjian-Ku, maka Akupun akan berbuat begini kepadamu, yakni Aku akan mendatangkan kekejutan atasmu, batuk kering serta demam, yang membuat mata rusak dan jiwa merana; kamu akan sia-sia menabur benihmu, karena hasilnya akan habis dimakan musuhmu.

Yesus juga tidak menjelaskan apa dan siapa Tuhan secara lengkap tapi Yesus menyederhanakan Tuhan sebagai Bapa Yang Baik karena itu Yesus membahasakan Tuhan dengan Allah Bapa. Bagaimana Allah Bapa menurut Yesus dapat dilihat dari Injil berikut.

Matius 6:31-34 Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai?Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu.Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari."

Tuhan yang didiskripsikan dalam Hindu, Buddha, Yahudi, dan Yesus tidak sama, tetapi tidak satu pun dari mereka mengatakan diskripsi mereka yang paling benar dan mereka menyadari apa yang dilakiukan adalah penyederhanaan karena Tidak mungkin mendiskripsikan Tuhan Yang Maha Besar. Jika diskripsi tentang Tuhan dari Hindu, Buddha, Yahudi, dan Yesus kita gabung akan didapat gambaran Tuhan yang lebih lengkap dan lebih jelas, diskripsi-diskripsi itu saling mengisi.

Hanya Muhammad yang buta huruf dan sok tahu yang berani mendefinisikan Allah Swt. dengan segala neraka dan surganya dan dengan pongah mengatakan definisi Allah Swt yang diberikan adalah yang paling benar. Perhatikan Alalh Swt yang dimasukkan oleh Muhammad ke dalam al-Quran.

9:73. Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah jahannam. Dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya.

33:64-65. Sesungguhnya Allah mela'nati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka), mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak (pula) seorang penolong.

3:10-11
Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka. Dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka, (keadaan mereka) adalah sebagai keadaan kaum Fir'aun dan orang-orang yang sebelumnya; mereka mendustakan ayat-ayat Kami; karena itu Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan Allah sangat keras siksa-Nya.

35:36
Dan orang-orang kafir bagi mereka neraka Jahannam. Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati dan tidak (pula) diringankan dari mereka azabnya. Demikianlah Kami membalas setiap orang yang sangat kafir.

39:71
Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahannam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: "Apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?" Mereka menjawab: "Benar (telah datang)." Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang yang kafir.

2:161
Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat la'nat Allah, para Malaikat dan manusia seluruhnya.

75:34-35
Kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu.

48:13
Dan barangsiapa yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya Kami menyediakan untuk orang-orang yang kafir neraka yang bernyala-nyala.

3:56
Adapun orang-orang yang kafir, maka akan Ku-siksa mereka dengan siksa yang sangat keras di dunia dan di akhirat, dan mereka tidak memperoleh penolong.

8:12
(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman." Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.

47:4
Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.

Allah Swt yang digambarkan Muhammad tidak bisa melengkapi diskripsi Tuhan dari Hindu, Buddha, Yahudi, dan Yesus karena tampaknya yang dibicarakan Muhammad bukan Tuhan tetapi sesuatu yang dimanfaatkannya untuk dijadikan stempel bagi segala perbuatannya.

Monday, 19 April 2010

Exploring the Pancasila-the five state principles of Indonesia-again


“There is not only Indonesian has God, but every Indonesian should be belief to theirs God” _ Soekarno, Pancasila’s birth day, June 1, 1945



We live in an era, which should more realize to the imperfection of destiny. The thought of scientific socialism, which was offered by Marx and Angels, had ever forecasted the reaching of the heaven in the earth”, a society where the capitalism has gone, and contradiction was not met again. However, that idea was against the serious fact in the end of eight decades of the twenty-century: Soviet Union and China changed their course, by accepted “capitalism way”, which was criticized early. Socialism was concealed: in fact, scientific is not meant “without mistake”, Actually Marxism as an idea must recognize that the world is not able to free from contradiction eventually.

Recently the aspiration to uphold the “Islamic State” maybe only single idea which still believes that ideal to be implemented. If the God law is a law, which want to be implemented, wants to or not the expected result is a social life without a defect.

In the other word, the proponents of “Islamic state” are designers who do not read to the history which has been spread in more than twenty centuries. A history where are expectation and disappointed rotate, a history of idea and sparkle planning that is crashed eventually, a tale of leaders and khalifahs who do not know forever how to away from the drunk power.

The idea designers of “Islamic State” forget that religion always promises an alternative of life: beside the “duniawi” (the worldly) undergoing now, there is later the “ukhrowi” (the day hereafter), which is better. Then, an “Islamic State” which does not recognize its imperfection itself will mistake to read “akidah” (the faith). However, an “Islamic State” which recognizes its imperfection itself will make problem: Is not the adjective of Islam assumes to a perfect?

That dilemma comes from our experience: the earth is the earth; it is not paradise. Imperfection, even it is a defect, continues, turns over with the amazing period. It seems will like such that forever.
In 1929, Francis Fukuyama said we were in “the end of history”. However, he did not say that live would not be dogged with blemish once more. Indeed, he is celebrating the win of economy capitalist and liberal democracy appearing in many angles. He wants to show that the alternative thought which is sure to replace capitalism and liberalism has lost its attractiveness: Ideology has been ruined as Raymond Aron in 1955 and Daniel Bell in 1960 were said. People are supported to be pragmatist, but there must be paid.

“The end of history will be a tragic,” wrote Fukuyama. “The struggle to be recognized, an aspiration takes the death risk for a idealism which is abstract absolutely, an ideology wrestling in the world which arouses an adventure, braveness, imagination, and idealism, will replace with economic calculation, the environmental concern, and consumer need satisfaction which is more complicated”
Fukuyama is not completely right. Now, there are many people who is furious by “ambition” to take the death risk for an desire”; we know every time there was someone, who exploded himself as a tool to kill the enemy.

Even, in a “normal” political process, all of that replace by “economic calculation”, and “consumer need satisfaction”. However, wrong or right in the Fukuyama’s conclusion has been pointed to this understanding of age: the human’s fate is imperfection.
We remember to Pancasila. When Bung Karno explained, while persuaded, Indonesia needed a weltanchauung, a vision of the world and life. Actually, he was walking in the froth for safe until to the across.

Because of that, if truly to explore, the speech of Lahirnya Pancasila (the birth of Pancasila), which is popular in June 1, 1945, it contains some many contradictions, actually, Bung Karno was trying to cope many problems faced by Indonesia.

The most important of the contradiction is exactly about that weltanchauung problem. A view of the world and life, or a “ground philosophy” (Bung Karno said philosophische grondlag) that base of nation unity is a foundation, an adhesive, and an umbrella all at once. Here, there is implied a tendency that something must tough and perfect. “A tendency” which is harder in “Orde Baru (new orde) era” which consider that Pancasila is “sacred”.

If it is such like that, it is not be able to changed, however, it’s caused a problem: How this vision is possible to make a political life that, as Bung Karno said himself, always contains a “struggle of concept”? Bung Karno said, “there is not a state live which is not contain ‘Kawah Candradimuka’ (a hard training place) that burning, a place where is many concepts fight in the house of representative. There is not a dynamic state ‘if there is not a concept struggle’ inside.”

When Bung Karno said this sentence, when he recognized that a state wanted or not, contained “an intensive struggle” in concept matter, “he stared to an objective: he wanted to make peaceful the Islamic Political group. He suggested to Islamic group in order to accept the establishment of “one state for all, all for one”. He rejected “egoism of religion”.
However, he also opened from this possibility: “there is possible that one day Indonesia uphold Islamic law. If the Islamic representatives is seated the majority of the house representative. “
In here appeared, the struggle gets hegemony is recognized as an ordinary usual and legal action. However, by that, Weltanchauung formulated is not actually resistant, solid, final, and eternal, so that abolishing the possibility of one “thought” breaks through and take over position of “that ground philosophy”. In the other word, Pancasila is not something “sacred”.
Pancasila exactly means, because it is not “sacred”. There are three big mistakes of “New Orde” to show that five “principles”. Firstly, they make the Pancasila almost sacred, holly. Secondly, they make Pancasila as apart of language, even as exclusive symbol of the ruler. Lastly, they support Pancasila by forcing threat.

“New order” has treated Pancasila as Rahwana take over Sinta for couples years. Analogy from epos of Ramayana is not completely proper, but as after Sinta is released by Rama, Pancasila in sight of people, specially for they who are forced, after the falling of “the new order”, is tainted: it is remembered as apart of the symbol of Rahwana’s authority.
However we know, that impression is right and fair as not right and fair when Rama placed Sinta on fire place for testifying hers holly.

Now, we need Pancasila again, but it is not as Rama accepted Sinta when she returned: we do not need to question the “holly”, especially “its sacred”. Now, we need Pancasila again exactly because it is a short formulation from our nation’s effort, which is wrestling through the mud in order to safe to reach the unity in diversity. The speech of Bung Karno with expressive pictures that effort; its tone is touched: full with spirit, but it is not free from nervous also.

In another word, we need Pancasila again for toughing that we want or not need to live with a sight and humanity approach recognized the complexity of social life.
The proponents of “Islamic state idea” said, they are more like to choose Islamic base because Islam comes from Allah, while Pancasila is human creation. However, exactly because Pancasila is apart of human effort, it does not claim that it is holly and sacred, so that it is a picture, and also as a shine of a life together that recognizes contain its “imperfection”, because always fight between “eka” (single) and “bhineka” (diversity). That is right when Bung Karno used an analogy “to dig” when formulated of Pancasila. “ Digging involves earth and body. Pancasila born from hard work of history, and as the earth, offers something which can cook further. It is not “ready-for-use”. It does not reject a creative interpretation. It opens the possibility that it is not become a doctrine because every doctrine will be charged by the progress of history, and because of that Bung Karno recognized: there is no theory of revolution that “ ready-for-use”.

The appear thing in openness for creativity is its character which can not absolute. Every “sila” (base) wants or not must be balanced by another “sila”: this nation will not be able do “sila” of religion only (Belief in one God) without be balanced by “sila” of unity of nation (Nation of Indonesia), and on the contrary. We will not be proper also and will not be able to run if we want apply “sila” nationalism without be balanced humanism and like that as well.

Absoluteness one “sila” only, will achieve an arbitrariness. It can not be success, also. Live is too complicated.. Society is an in process building, until politic, with its all invalid, is an unavoidable, even it can be vanished by 100 years of torment.

We need Pancasila again because as if we has lost a language for shielding 100 year s of torment implied in an arbitrary demeanor, which is arrogance also: their demeanor, which is feel to represent the sound of God and Islam. Although there is not clear from where, and how that mandate comes to their hands; their demeanor burned by the “religion-egoism”, and denies to the Indonesia’s desire which is important in order to every Indonesia “belief to theirs God”, until religion is not forced, and the followers does not hide in hypocrisy.

We need Pancasila again because we need to talk with sure to them who directly feel higher than a republic which developed by blood and sweat every kind of its resident, Islam, Christian, Hindu, Buddha, Konghucu, or even, atheist. A struggle which is longer than 60 years.

We need Pancasila again because it is a process of continuous negotiation from a nation, which is never to be single., it can not be fully “eka” (solo). We need Pancasila again because there is no one, which is able to completely convinced that themselves, theirs group, represent a something who the most great and right, and can deny to imperfection of human destiny.

Tuesday, 6 April 2010

KHILAFAH DALAM TINJAUAN FIQH ISLAM

Apakah yang dimaksud Khilafah?

Khilafah secara etimologis mempunyai arti pergantian, dari kata khalafa-yakhlufu. Khalifah adalah orang yang mengganti orang lain dalam mengemban sebuah tanggung jawab tertentu baik pergantian disebabkan karena kematian yang diganti, kepergiannya, ketidakmampuannya atau karena berdasarkan sebuah ketulusan niat penghormatan dari yang diganti kepada yang mengganti .


Sementara dalam terminologi Fiqh Siyasah Islam, Khilafah dapat disimpulkan sebagai upaya mengarahkan seluruh manusia atas dasar pandangan syariat yang meliputi semua bidang kemaslahatan akhirat dan kemaslahatan dunia. Khilafah juga dapat disebut dengan imamah, sebuah istilah yang lebih populer dalam konsep Syiah. Dan disebut imamah karena menyerupai imamah dalam solat jamaah dimana makmum harus mengikuti imam. Jadi dalam teori Fiqh Siyasah, seorang khalifah atau imam bertugas sebagai pengganti Nabi dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengan agama. Berpijak dari tujuan inilah, mayoritas ulama mewajibkan tegaknya sebuah pemerintahan sebagaimana yang dilakukan para sahabat Nabi sesaat setelah Nabi wafat .


Apakah Kitab Suci menerangkan Khilafah ini?
Dalam Kitab Suci al-Quran, kata khalifah dalam bentuk tunggal disebutkan dua kali yang pertama dalam Surah Al-Baqarah: 30 dalam tema awal penciptaan manusia.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
Dan ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat, “Aku akan menciptkan di bumi ini seorang khalifah”
Yang kedua dalam Surat Shad: 26 dalam kisah pengangkatan Nabi Dawud as. sebagai khalifah..
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Wahai Dawud, Aku telah jadikan dirimu sebagai khalifah di bumi ini, maka tegakkan hukum di tengah-tengah manusia dengan kebenaran, jangan ikuti hawa nafsu sehingga menyesatkanmu dalam menempuh jalan Tuhanmu”

Lalu artinya?
Begini, dalam tafsir kata khalifah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 30 para ulama berbeda pendapat. Siapakah yang dimaksud sebagai “pengganti” itu dan siapakah yang digantikannya? Ada tiga pendapat yang disimpulkan Imam Mawardi (w. 450 H) . Pertama, dinisbatkan kepada Ibnu Abbas ra., khalifah adalah Nabi Adam dan seluruh manusia, diciptakan untuk mengganti makhluk penghuni bumi sebelumnya. Kedua, khalifah adalah seluruh anak-cucu Nabi Adam as. Mereka diciptakan dari generasi ke generasi, generasi pertama mengganti Nabi Adam as., yang baru mengganti yang lama, berkesinambungan. Pendapat ini dilontarkan tokoh dan ulama terkemuka periode tabi’in, Imam Hasan al-Bashri . Pendapat ketiga, pendapat Ibn Mas’ud ra. khalifah ditafisiri dengan Nabi Adam dan juga sebagian anak-cucunya, diciptakan Allah menjadi pengganti-Nya dalam memberi keputusan hukum diantara manusia.


Perbedaan penafsiran ini sebatas pada ayat di Surat al-Baqarah saja. Dan, jika kita menilik keseluruhan ayat yang menggunakan kata turunan dari khilafah, khususnya bentuk jamak khalaif fil-ardl dan kata khulafa dalam QS. Al-An’am: 165 (khalaif al-ardl), QS. Fathir: 39, QS.Yunus: 14 (khalaif fil-ardl) dan QS. an-Naml: 62 maka, paling tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa predikat khalifah berlaku umum dan khusus:

(1) Khalifah berlaku umum untuk seluruh manusia, pemahaman ini tidak terbantah dari QS. Al-An’am: 165, QS. Fathir:39 (khalaif al-ardl) dan QS. An-Naml: 62 (khulafa al-Ardl). Ibn Katsir menambahi bahwa ayat-ayat ini senada dengan QS. Al-An’am: 133 (yastakhlifu), QS. Az-Zukhruf: 60 (yakhlufun) , QS. An-Naml: 62, QS. al-Baqarah: 30 dan QS. al-A’raf: 129 (wayastakhlifakum) .

(2) Khalifah digunakan lebih khusus untuk menyebut sebuah generasi manusia atau suatu bangsa tertentu; sebagaimana lafad khalaif dalam QS. Yunus: 73. menunjuk pengikut Nabi Nuh yang menggantikan penduduk bumi yang telah musnah karena banjir ; lafad Khulafa dalam QS. al-A’raf: 69 menunjuk kaum ‘Ad (kaum Nabi Hud) sebagai pengganti kaum Nabi Nuh; lafad yang sama di QS. al-A’raf: 74 ditujukan kepada kaum Tsamud (kaum Nabi Shalih) sebagai pengganti kaum ‘Ad. Masing-masing bangsa mengganti bangsa sebelumnya bukan dalam menduduki tempat atau kawasan tertentu, namun dalam memakmurkan bumi dan menjadi yang terdepan dalam perkembangan peradaban.

(3) Khalifah digunakan lebih khusus lagi, untuk individu yaitu Nabi Dawud as. dalam QS. Shad: 26 karena mengganti nabi sebelumnya .

Kesimpulannya, Khalifah, khulafa atau khalaif, dalam istilah Quran dapat disimpulkan sebagai manusia atau kumpulan manusia yang mampu mengemban amanah keadilan dalam memakmurkan bumi sehingga mereka menjadi manusia yang patut menggantikan generasi sebelumnya sebagai umat yang maju peradabannya dan menjadi poros dunia. Dan umat ini dijanjikan Allah akan menjadi khulafa di bumi jika mereka beriman dan bertindak laku kebaikan (shalihat) (Q.S. an-Nur:55).


Lalu apa persamaan antara khalifah dalam Kitab Suci dengan khalifah dalam konsep Fiqh Siyasah?
Dari paparan panjang di atas dapat disimpulkan bahwa khalifah dalam Kitab Suci tidak dapat difahami secara manthuq sebagai kepala pemerintahan ataupun pimpinan dalam sebuah negara. Antara khalifah dalam pengertian al-Quran dengan khalifah dalam istilah ilmu politik Islam hanya terdapat kesepadanan linguistik saja, karena sama-sama sebagai pengganti dalam kedudukan tertentu.. untuk itulah Imam Thabari menyebutkan bahwa kepala negara, sulthon disebut khalifah karena dia mengganti kedudukan kepala negara sebelumnya
ومن ذلك قيل للسلطان الأعظم: خليفة، لأنه خلف الذي كان قبله، فقام بالأمر مقامه
. Seperti Sahabat Abu Bakr disebut khalifah karena mengganti Nabi Muhammad saw dalam memimpin umat Islam.


Apakah Rasulullah pernah memperbincangkan tema khilafah?

Ya. Banyak hadis, banyak riwayat, Nabi menggunakan kata khalifah atau khulafa untuk menunjuk para pemimpin pasca wafatnya. Untuk itulah, Sayyidina Abu Bakar ketika dibaiat menjadi pemimpin umat Islam pasca Nabi, para sahabat menggelarinya Khalifaturrasul. Dan insya Allah, Secara lebih detail, hadis-hadis tentang khilafah akan kita bicarakan nanti sembari membaca secara kritis konsep khilafah dalam Fiqih Siyasah Klasik.


Bagaimana sebenarnya Khilafah dalam Konsep Fiqh Siyasah Klasik? Apakah Khilafah memang wajib ditegakkan?

Manusia, sesuai sunnatullah, dengan keyakinan apapun pastilah hidup berkelompok, bersama satu dengan yang lain, berbangsa dan bersuku, bukan untuk saling bermusuhan dan saling benci. Sebab fitrah manusia dalam membangun hubungannya antar sesama adalah fitrah kehidupan dengan penuh damai dan dalam ikatan persaudaraan (QS. Al-Hujurat:13). Konflik antar suku Arab yang tidak berkesudahan di masa pra Islam adalah akibat tatanan masyarakat tribalisme yang oleh Nabi diakhiri dengan prinsip persamaan (al-musawah) dan persaudaraan (al-ukhuwwah), karena pada dasarnya setiap manusia diciptakan dengan membawa harkat martabat kemuliaan (karamah) yang diberikan Sang Maha Pencipta (QS. Al-Isro’:70). Dalam Haji Wada’, Nabi berpesan dalam khotbahnya yang sangat populer,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ
“Wahai manusia, Tuhan kalian adalah satu, Kakek kalian (Adam) juga satu. Tidak ada keutamaan Arab atas non Arab dan juga sebaliknya”.


Berangkat dari dasar ini, Islam mempunyai prinsip-prinsip (kulliyyat) yang menjadi pondasi pembangunan masyarakat manusia yang bersaudara. Prinsip-prinsip itu diantaranya; prinsip keadilan (‘adalah, qisth), kebebasan (hurriyyah), persaudaraan (ikhaa’), jaminan sosial (takaful), martabat kemuliaan (karamah), amanah dan musyawarah. Prinsip keadilan adalah muara semua prinsip diatas, karena keadilan menjadi tujuan akhir (hadaf) seluruh ajaran Tuhan yang dibawa para utusan-Nya (QS. Al-Hadid:25). Keadilan dalam hal apapun dan kepada siapapun meski kecendruangan dan keinginan batin menuntut yang lain . Tidak terkecuali kepada orang-orang yang berbeda keyakinan, al-Quran memerintahkan untuk bersikap adil dan berbuat kebaikan. (QS. Al-Mumtahanah:8) bahkan keadilan kepada orang-orang yang memerangi kita sekalipun (QS. Al-Baqarah: 190).

Lebih jauh, Syaikh Qaradlawi menegaskan, prinsip keadilan menuntut manusia untuk selalu selalu berdiri bersama pihak yang paling mungkin diberlakukan tidak adil (dhulm) dengan membela kaum miskin, masyarakat buruh, kaum perempuan dan anak-anak dan warga non muslim minoritas agar dengan posisi kita tersebut kita dapat menahan tangan-tangan ketidakadilan menimpa mereka. “Tolonglah saudara yang dizalimi dan yang menzalimi. Menolong mereka yang menzalimi artinya, engkau menahan tangannya dari berbuat zalim.”, demikian tegas Nabi


Jadi, Khilafah wajib ditegakkan untuk mengatur kehidupan agar orang yang lemah dapat memperoleh hak-haknya?


Tepat. Pada titik inilah kewajiban mengangkat Khalifah dalam konsep Fiqh Siyasah Klasik sebenarnya ditujukan. Sebuah kelompok masyarakat, sekecil apapun jumlahnya berpotensi terjadi ketidakadilan tanpa adanya pemimpin, mereka yang kuat akan menindas yang lemah. Nabi sendiri memerintahkan setiap rombongan musafir untuk mengangkat amir untuk mengatur urusan bepergian mereka. .


Seorang pemimpin diangkat, karena diidealkan, pemimpin sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis merupakan, “..bayangan Allah di bumi, tempat berlindungnya orang-orang lemah dan orang-orang teraniaya untuk mendapatkan hak-haknya” .


Untuk tujuan inilah, pasca wafat Nabi, para sahabat bermusyawarah dan berijma’ untuk mengangkat pemimpin pengganti Nabi dan disusul mayoritas ulama memberikan fatwa fardlu kifayah bagi tegaknya kepemimpinan dalam tata kehidupan manusia dan yang perlu ditegaskan disini adalah mengangkat pemimpin bukan berarti hanya mengangkat seseorang dengan memberinya gelar khalifah.


Dalam konteks inilah, Nabi mengancam orang yang tidak peduli persoalan kepemimpinan dengan ancaman kematian ala jahiliyah (maitatan jahiliiyah) ”. Artinya, sebagaimana penjelasan Imam Nawawi , mati seperti kaum jahiliyah yang hidup tak menentu karena tanpa pemimpin.


Apakah berarti mengangkat presiden atau raja juga bisa disebut mengangkat Khalifah?

Ya. Ajaran Islam dalam persoalan kepemimpinan tidak pernah berkait dengan istilah-istilah, nama atau gelasr-gelar, namun Islam berhubungan dengan makna dan substansi. Al-Ahkam manuthah bi ma’ani wa aushaf la bi asma’ wa asykal, demikian Ibnu Asyur memberi kaidah dalam Maqashid-nya. Artinya, semisal jika kata khinzir atau babi dalam suatu komunitas digunakan untuk nama jenis apel tertentu, tidaklah berarti apel tersebut menjadi haram. Yang dimaksud khinzir dalam Kitab Suci adalah hewan yang telah difaham secara baik oleh bangsa Arab, audiens atau mukhathab Kitab Suci ketika itu.


Jadi, mereka para pemimpin dengan gelar-gelar apapun juga masuk dalam kategori Khalifah.

Apakah mereka wajib ditaati?

Ya, tentu. Mereka juga disebut ulil amri yang diperintahkan Allah untuk ditaati walau dengan ketaatan yang tentu terbatas, yaitu sejauh tidak dalam hal maksiat kepada Allah, la tha’ata li makhluq fi ma’shiyat al-Khaliq.. Karena yang dimaksud ulil amri dalam QS. An-Nisa: 59, tidaklah melulu harus pemimpin yang bergelar khalifah, namun semua pemimpin yang mengatur dan bertanggung jawab dalam urusan-urusan umat, termasuk presiden, raja, sultan. Bahkan bukan hanya pemimpin politik (baca: penguasa militer dan sumber-sumber keuangan negara) namun juga kepada pemimpin agama dan para ulama.


Dan pemimpin-pemimpin terbaik yang pernah lahir dalam sejarah umat adalah Khulafa Rasyidun; Sayyidina Abu Bakr, Sayyidina Umar, Sayyidina Utsman dan Sayyidina Ali radliyallahu anhum ajmain. Kepemimpinan mereka inilah yang dimaksud Nabi sebagai “Khilafah” sebenar-benar khilafah yaitu khilafah yang berdiri diatas minhaj an-nubuwwah.


Maksudnya?

Begini. Ada sebuah istilah yang kita banyak lupa, yaitu Khilafah Nubuwwah. Khilafah Nubuwwah adalah istilah yang dipopulerkan Nabi. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Sahabat Safinah ra. (salah satu pembantu di rumah Nabi), Nabi bersabda:

خلافة النبوة ثلاثون سنة ، ثم يؤتي الله الملك أو ملكه من يشاء "
“Khilafah (dalam sebagian riwayat, “Khilafah Nubuwwah”) setelahku berlangsung selama 30 tahun setelah itu berubah menjadi kerajaan (mulk)” .


Masa 30 tahun ini dihitung dimulai Khilafah Sayyidina Abu Bakr selama 2 tahun lebih lalu Sayyidina Umar bin Khattab selama 10 tahun lebih berikutnya khilafah dipangku oleh Sayyidina Utsman selama hampir 12 tahun dan diakhiri oleh khilafah Syyidina ‘Ali bin Abi Thalib selama hampir 5 tahun tahun. atau diakhiri oleh Sayyidina Hasan bin ‘Ali menurut sebagian ulama.


Jadi, jelas setelah 30 tahun dari wafat Nabi, selesailah masa Khilafah, Khilafah sebenar-benar khilafah, yaitu khilafah yang berdiri di atas minhaj nubuwwah. Walaupun para pemimpin umat pasca Khulafa Rasyidun bergelar Khalifah, tepatnya setelah Sayyidina Hasan menyerahkan kekuasaan kepada Sahabat Mu’awiyah, khilafah berangsur-angsur berubah menjadi al-mulk atau kerajaan.


Sesuai hadis ini, Khilafah telah berhenti dan tidak akan kembali?

Wallahu A’lam. Namun, dalam sebuah hadis yang hanya diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya disebutkan, Khilafah Nubuwwah akan kembali, yaitu setelah habisnya masa kekuasaan raja-raja yang keras dan menyengsarakan rakyat Sanad hadis Nabi ini sampai kepada Sahabat Hudzaifah bin Yaman.


Dan, dalam riwayat ini, salah seorang rawi yang juga menjadi sekretaris Sahabat Nu’man bin Basyir ra., Habib bin Salim namanya, sempat menulis hadis ini untuk Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Habib dalam suratnya juga menuliskan harapannya semoga kepemimpinan Umar inilah saat kembalinya Khilafah Nubuwwah setelah berlangsungnya kerajaan yang zalim dan otoriter. Membaca hadis ini, Khalifah Umar tercengang sekaligus bergembira.


Sekali lagi, hadis ini membicarakan tentang Khilafah Nubuwwah. Sedang khilafah “biasa” sebagaimana penjelasan Nabi tentu sangat berbilang.


Namun, apakah hadis ini shahih?

Wallahu A’lam. Insya Allah, hadis ini memenuhi standar hadis hasan. Insya Allah . Dan kesimpulan Habib bin Salim memang patut dibenarkan. Mengingat sifat adil, amanah dan kezuhudan Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah sebagaimana sifat empat Khulafah Rasyidun, ia dikecualikan dari khulafa Bani Umayyah lainnya yang oleh Ibn Taimiah, Hafidh Ibnu Hajar dan Ibnul Qoyyim sudah tidak dimasukkan dalam kategori yang dipuji Nabi sebagai kepemimpinan khilafah nubuwwah . Kepemimpinan Bani Umayah menyerupai raja-raja. Tidak seperti yang diajarkan Nabi. Walaupun mereka bergelar khalifah namun sebenarnya mereka adalah raja-raja (al-muluk). Bahkan dalam sebuah riwayat, ketika ditanya tentang Bani Umayyah yang mengklaim bahwa mereka juga khulafa Nabi, Sahabat Safinah ra. berkomentar ketus, “Mereka dusta. Meraka sebenarnya adalah raja seburuk-buruk raja.”


Dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz oleh para ulama disepakati sebagai mujaddid pertama yang dijanjikan Nabi dari mujaddid-mujaddid yang akan selalu muncul di awal seratus tahun setelah wafatnya.


Lalu apa sebenarnya perbedaan Khilafah Nubuwwah dan al-Mulk?

Kepemimpinan mulk dimulai pemerintahan Sahabat Mu’awiyah. Para ulama seperti Hafidh Ibnu Hajar menyebutnya sebagai raja pertama dalam sejarah Islam. Pada masanyalah kepemimipinan khilafah berangsur-angsur berubah menjadi kerajaan. Penjelasan sangat baik ditulis oleh Imam Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya. Dalam Muqaddimah, disebutkan bagaimana sikap meniru raja-raja yang selalu tampil dengan kemewahan pakaian, kendaraan dan iringan pengawal yang dilakukan Sahabat Mu’awiyah sejak menjadi Gubernur Syam pernah diperingatkan Amirul Mukminin, Umar bin Khatthab ra. Ketika itu Umar berkunjung ke Syam yang Mu’awiyah menjadi gubernurnya. Sayyidina Umar mendapati Sahabat Mu’awiyah berpakaian dan berkendaraan mewah, lalu Ia bertanya, “Wahai Mu’awiyah, bukankah yang Kamu lakukan ini gaya raja-raja Persi?” Sayyidina Umar mengidentifikasi sikap bermewah-mewah sebagai sikap raja-raja bukan Khalifah.


Jadi secara personality, Sahabat Mu’awiyah memang sejak mula mempunyai karakter seperti raja-raja.


Lebih detail, apa yang menjadi ciri utama sistem khilafah ini?

Ciri utama yang paling menonjol dari Khilafah Nubuwwah ini adalah kultur musyawarah (syuro) dalam pengambilan segala keputusan yang telah terbangun dengan baik (QS. Alu Imran: 159, Asy-Syuro: 38). Dimulai dari yang paling dasar yaitu musyawarah dalam mengangkat pemimpin. Sayyidina Umar menegaskan, “Siapapun mengangkat pemimpin tanpa musyawarah, maka tidak ada baiat”. Pemimpin yang dipilih secara syuro, ia dengan sepenuh sadar melihat jabatan sebagai amanah pengabdian, kekuasaan menjadi alat untuk menegakkan keadilan di tengah umat. Tidak ada hal yang perlu dipertahankan dan diwariskan sebagaimana yang terjadi dalam bentuk kerajaan.


Sementara, dalam pemilihan Khulafa Rasyidun, mekanisme musyawarah yang dipraktekkan ada tiga; (1) pemilihan pemimpin tanpa kandidat seorang pun dari pemimpin sebelumnya seperti saat memilih Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali, (2) pemilihan pemimpin dengan didahuli penentuan kandidat tunggal tanpa disertai nepotisme, sebagaimana Khalifah Abu Bakar memunculkan nama Uma bin Khattab untuk dipilih, dan (3) pemilihan pemimpin dari beberap kandidat seperti saat Sayyidina Utsman. Mekanisme ini, sebagaimana tegas Imam Abu Zahroh (w. 1394 H/1974 M) dapat berubah sesuai konsensus umat, karena yang menjadi prinsip adalah musyawarah yang partisipatif, bebas dan bertanggung jawab .


Khulafa Rasyidun selalu memimpin umat dengan tunggal. Artinya tidak ada dualisme kepemimpinan ketika itu. Apakah kemudian dapat disimpulkan bahwa khilafah harus tunggal dan global melewati batas-batas negara seperti saat ini?


Dalam sejarah awal umat Islam belum dikenal konstitusi tertulis yang disepakati bersama sebagaimana sekarang yang berisi diantaranya tentang kriteria Khalifah, mekanisme pemilihan, syarat ahl al-hall wal-áqd, lembaga yang yang berhak membaiat seorang Khalifah. Ketika itu, konsep Baiat masih kabur.


Baiat, sebagai sebuah bentuk kontrak politik langsung antara Khalifah dan rakyat, ketika itu, dilakukan oleh elite masyarakat. Sebenarnya, seperti dalam pengangkatan Sahabat Abu Bakar menjadi Khalifah, tidak semua umat Islam diseluruh penjuru wilayah datang ke Madinah membaiatnya. Hanya sahabat-sahabat Muhajirin dan Anshar yang berada di Madinah saja yang melakukan. Kelompok elit dan terbatas inilah yang kemudian disebut ahl al-hall wal-‘aqdi, mewakili umat untuk mengangkat dan memberhentikan pemimpin dari jabatannya.


Jadi benar, pada masa Khulafa Rasyidun memang tidak pernah terjadi dualisme kepemimpinan dan setiap Khalifah selalu mendapat dukungan mayoritas umat Muslim ketika itu. Namun selang beberapa belas tahun, tepatnya pada masa Khalifah ‘Ali Bin Abi Thalib, telah muncul bibit-bibit disintegrasi. Karena perangkat politik ketika itu yang sangat sederhana, belum ada lembaga perwakilan yang jelas sehingga pengangkatan atau baiat yang dilakukan warga Madinah kepada Sayyidina Ali tidak diakui Sahabat Mu’awiyah, Gubernur Syam ketika itu. Hingga akhirnya pecahlah perang Shiffin yang berakhir dengan Majlis Tahkim lalu terjadilan pembunuhan Sayyidina Ali. Dan setelah itu, tercatat dalam beberapa bulan terdapat dualisme Khalifah dalam umat Islam, antara Sayyidina Hasan bin Ali dan Mu’awiyah.


Dalam konsep kepemimpinan Islam dan juga konsep apapun, selalu mengandaikan terwujudnya kepemimpinan yang kuat. Loyalitas rakyat selalu dapat terjaga. Dalam sebuah baiat kepada pemimpin, misalnya, sebagaimana dalam tradisi Arab, maka terjadilah kontrak politik, peneguhan komitemen bersama antara pemimpin dan rakyat yang dipimpin. Ketaatan atas baiat ini adalah bentuk politis dari prinsip amanah (wafa’ bil ‘ahdi) yang ditunaikan selama pemimpin menjalankan kepemimpinannya. Dan ketaatan ini, oleh Nabi, tidak boleh dikhianati dengan gerakan-gerakan makar atau kudeta (baghy, khuruj), penarikan baiat (iqalah ‘an al-bai’ah) ataupun pembaiatan kepada orang lain (dualisme bai’at). Nabi sendiri memerintahkan untuk memerangi siapapun yang berkhianat atas komitmen ketaatan (bai’at) yang pernah dilakukan, “fadlribu ‘unuqa al-akhar”


Namun, para fuqaha lebih khusus fuqaha sunni dalam menyusun teori suksesi lebih memilih mempertimbangkan fakta dan realitas politik (de facto) dari pada legalitas. Hal ini demi terjaganya stabilitas dan maslahat yang lebih besar. Buktinya, dalam konsep Fiqh Siyasah klasik, kekuasaan yang diraih dengan jalan kudeta (khuruj, ghalabah) dibenarkan dan legitimate walaupun tanpa adanya baiat. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad baiat tidaklah menjadi syarat , realitas politiklah yang menjadi pertimbangan utama.


Artinya, siapa yang menang maka dia secara de facto adalah penguasa yang sah? Walau tanpa baiat dari rakyat yang dilakukan secara sukarela?


Ya. Para ulama bukan hanya melihat “butir-butir ideal”, namun lebih memandang realitas. Bahkan, Imam Haramain asy-Syafi’i (w. 478 H) dan Ustadz Abu Ishaq al-Isfiraini asy-Syafi'i (w. 476 H) bependapat, pemisahan diri sebuah wilayah dari pemerintahan pusat juga mendapat legitimasi jika terdapat jarak yang sangat jauh antar keduanya. Sekali lagi fakta politiklah yang menentukan . Pemimpin baru ini lebih sering disebut waliyyu al-mar adl-dlaruri bisy-sayukah, dan mendapat hak ketaataan sebagaimana pemimpin sebelumnya.


Diceritakan dalam Shahih Muslim, putra Sahabat ‘Amr bin ‘Ash, Abdullah, ketika di dekat Ka’bah menyampaikan hadis Nabi tentang celaan kepada para pemeberontak, ditanya seseorang tentang kedudukan Sahabat Mu’awiyah ra. yang merebut kekuasaan dari Sayyidina Ali. Abdullah menjawab, “Taatilah dalam hal ketaataan kepada Allah..!”


Namun, tampak sekali keadilan dan kebenaran dikesampingkan? Bagaimana seseorang menjabat dengan cara ilegal dan inkonstitusional mendapat ketataan sedemikian rupa?


Jika dilihat dari sudut pandang keadilan tentu. Namun fuqaha bukanlah mereka yang hanya bisa membedakan baik dan buruk, benar dan salah. Namun lebih dari itu, mengetahui ashlahul mashlahatain dan afsadatul mafsadatain, paling maslahat dari dua hal yang maslahat dan paling mafsadah dari dua hal yang mafsadah. Tentu, realitas tidak bisa ditabrak dengan mengorbankan kemaslahatan yang lebih besar.


Dan berangkat dari sejarah panjang inilah, kenapa sekarang teoritikus politik modern perlu mengoreksi ketaatan dalam konsep klasik yang tidak mengenal periodisasi jabatan. Teori klasik mengharuskan ketaatan ditunaikan hingga sang pemimpin berakhir masa kepemimpinannya baik karena meninggal, mengundurkan diri atau bahkan dikudeta. Sementara dalam konstitusi negara modern sebagai bentuk konsensus-konsensus politik umat (al-wa’du, al-‘ahdu, syuruth), pembatan masa jabatan adalah menjadi klausul penting, dan hal ini dibenarkan karena tidak bertentangan dengan nash-nash qath’i.


Kseimpulan Akhir?

Pesan kuat yang dapat ditangkap yaitu bahwa setiap manusia tidaklah diciptakan tanpa sejarah yang telah mendahuluinya. Untuk itu manusia dituntut untuk selalu dapat melihat sejarah dengan penglihatan positif (i’tibar), memilahnya, menjadikannya pelajaran dan petunjuk untuk secara optimis melakukan kerja-kerja pengembangaan kehidupan dan peradaban. Sejarah buruk masa lalu, bangsa-bangsa dan kaum-kaum para Nabi yang disiksa dan dibinasakan karena durhakanya -sebagaimana dapat dibaca dari banyak tempat di Kitab Suci- adalah ibrah bagi ulil abshar yaitu orang-orang mempunyai kecerdasan spritual (QS. Yusuf: 111). Sebagaimana sejak sebelum penciptaan manusia, Allah telah menegaskan kepada para malaikat untuk tidak melihat “masa lalu” bumi ini dengan pandangan pesimis (QS. Al-Baqarah:30), mengingat –sebagaimana tafsiran Ibnu Katsir - banyak manusia pilihan akan lahir dibumi. Mereka adalah para rasul, nabi, orang-orang jujur, salihun, para syahid, para zahid, para ahli ibadah, auliya’, ulama, para pecinta Allah dan mereka para pengikut utusan-utusan Allah. Merekalah manusia-manusia yang dapat mengemban tugas kekhalifahan di atas bumi dengan sebaik-baiknya. Mereka adalah yang akan meraih janji-janji Allah,

“Allah menjanjikan kepada orang-orang dari kalian semua, yang beriman dan berlaku dengan tindak laku kebaikan, sungguh Allah akan menjadikan mereka pengganti(yastakhlif) (dari kaum sebelumnya, tafs. ) di bumi ini sebagaimana Allah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai pengganti-pengganti di bumi ini, sungguh Allah akan mengokohkan bagi mereka agama mereka yang Allah telah memilihkan agama itu bagi mereka, dan sungguh Allah akan memberi ganti kepada mereka rasa tentram pasca ketakutan yang mereka rasakan. Mereka menyembahku tidak menyekutukanku. Siapapun dari mereka bertindak kufur maka mereka adalah tergolong orang-orang fasik” (Q.S. an-Nur:55)


Siapapun yang dapat mengemban amanah Tuhan, Tuhan akan memberikan kepadanya posisi penting (makanah) sebagai pusat peradaban manusia di bumi dan dialah khalifah Tuhan yang sebenarnya. Sebagaimana tercermin dalam posisi umat pengikut Nabi Muhammad dibawah kepemimpinan Khulafa Rasyidun. Mereka adalah contoh umat yang dapat mengemban amanat Tuhan dengan sebaik-baiknya. Mereka - seperti kesimpulan Adl-Dlahhak (w.?) juga oleh Imam Malik (w.?)- yang dimaksud sebagai orang-orang beriman yang meraih apa yang dijanjikan Allah dalam ayat di atas :

Imam Qusyairi (w.?) menjelaskan bahwa ayat ini juga memberi isyarat akan posisi para ulama sebagai penjaga ajaran agama, penuntun masyarakat. Merekalah khalifah-khalifah yang memiliki posisi penting sebagai tiang-tiang agama (da’aim al-millah, arkan al-Islam)dalam tugas manusia memakmurkan bumi. Mereka adalah para pengahafal Quran dan Hadis, sarjana-sarjana fiqh, ahli-ahli teologi dan para wali-wali Allah.

Lebih jauh, Ibn ‘Asyur, mufassir terkemuka abad-14 H, penulis Tafisr at-Tahrir wat-Tanwir menjelaskan, kaum yang tidak berimanpun dapat menjadi pusat peradaban di bumi, sebagaimana bangsa Eropa di era ini karena mereka mampu melakukan tugas-tugas kekhalifahan di bumi seperti berbuat adil, berlaku positif (ihsan), memenuhi hak-hak persaudaraan (itai dzil qurba), mencegah tindak keji, mungkar dan kezaliman , menjauhi perilaku eksploitatif atas milik orang lain, menjauhi sikap permusuhan dan mereka menjalankan tata hubungan sesama manusia dengan saling menghormati dan toleran. Semua ini, berhasil mereka rumuskan dari kajian mereka yang terus menerus di saat perang Salib atas peradaban Islam; sejarah Islam, tata hukum Islam dan kehidupan Nabi. Sejarah kekalahan umat Islam saat ini sebenarnya mengulang sejarah Bani Israil dahulu kala, walaupun mereka beragama monotheis harus kalah oleh kaum Asy-Syuriyyun yang musyrik .



MARAJI'
. Raghib al-Ashfihani, faktor pemberian kehormatan inilah yang oleh Raghib
. Imam Ibnu Khaldun, op.cit. h. 151
. Imam Ibnu Khaldun (w. 808 H), Muqaddimah, (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 2003), cet. ke-8, h. 150-151. Lihat juga Imam Mawardi (w. 450 H), al-Ahkam as-Sulthaniah, (Beirut: Darul Kitab al-Arabi, tth.), ed. Khalid Abdul Lathif As-Sab’i al-‘Alami, h. 29.
. Imam Mawardi dalam Tafsir an-Nukat wal-‘Uyun (CD Maktabah Syamilah)
. Secara lebih detail dan argumentatif penjelasan atas tafsiran Imam Hasan al-Bashri ini dapat kita temukan dari Imam Razi dalam Tafsir Kabir-nya. Tafsiran ini dikuatkan dengan QS. Al-An’am: 165, (dan ayat-ayat lain, penj.) bahwa semua manusia diciptakan Allah sebagai khalifah di bumi. Disamping bahwa tafsiran ini sah dari sudut kajian tata bahasa, karena khalifah masuk dalam kategori isim jama’. Dalam Disiplin ilmu Nahwu, isim jama’ dibedakan dengan jama’. Kategori pertama dapat digunakan untuk makna tunggal ataupun plural, juga dapat buat laki-laki maupun perempuan.
. Ibnu Katsir dalam tafsirnya atas QS. Al-An’am: 165.
. Lihat misalnya Ibn ‘Asyur dalam Tafsir at-Tahrir wat-Tanwir (?)
. Lihat misalnya Ibn ‘Asyur dalam Tafsir at-Tahrir wat-Tanwir (?) dalam tafsir QS. al-A’raf: 74.
. Imam Mawardi juga menyebutkan tafsiran lain, Nabi Dawud menjadi khalifah dari Allah artinya khilafah mempunyai arti kenabian. Masuk dalam penggunaan lebih khusus ini adalah QS. Al-Baqarah: 30 yang oleh sebagian ulama, khalifah adalah Nabi Adam as. Sementara itu, Imam Ibn Taimiah mencoba menyingkap kesesuaian antara Nabi Adam dan Nabi Dawud sehingga disebut khalifah. Menurutnya, keduanya sama-sama mendapat cobaan dari Allah dengan melakukan kesalahan dan kemudian menempuh tobat yang sungguh-sungguh hingga meraih ketinggian derajat. Lihat Majmu’ Fatawa, 9/198.
. Imam Thabari, Jami’ul Bayan,
. Untuk itulah, dalam keluarga, suami berpoligami tetap harus berbuat adil dalam urusan-urusan lahiriah meskipun perasaan hati dengan masing-masing istri tidak mungkin disamakan (QS. An-Nisa:3 dan 129).
. Dr. Yusuf Qaradawi dalam salah satu bukunya yang dirilis dalam www.qaradawi.com. Qaradawi juga membagi wilayah keadilan menjadi tiga; (1) keadilan hukum dimana semua manusia dalam posisi sama di depan hukum, (2) keadilan sosial, berhubungan dengan kesamaan hak dalam pemanfaatan sumber-sumber ekonomi dan hak-hak dasar manusia seperti pendidikan dan lapangan kerja (QS: al-Hasyr: 7) , (3) Keadilan negara yang meliputi persoalan hubungan antar negara dalam kondisi damai atau perang.
. Hadis perintah mengangkat pemimpin dalam bepergian dikutip Imam Nawawi dalam Riyadl ash-Shalihin dari Riwayat Imam Abu Dawud. Imam Nawawi menghukumi hasan.
. Syaikh al-Albani memasukkanya dalam Silsilah al-Ahadits adl-Dlaifah, no. hadis: 1663 sementara Imam Ibnu Taimiyah menyebutkan hadis yang semakna dengan hadis diatas dengan menghukuminya sahih. Lihat Majmu’ Fatawa, 9/198.
. Imam Nawawi, Syarh Muslim no. hadis: 3444.
. Lihat misalnya Imam Ibnu Katsir dan Syaikh Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya.
. Lihat al-Albani as-Silsilah ash-Shahihah (?) hadis no.459 dengan sumber periwayatan dari Abu Dawud, Tirmidzi, Ibn Hibban, Hakim, Imam Ahmad, dll Hadis ini sempat digugat beberapa ulama dari aspek sanad dan matannya, diantaranya Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah dan Ibnul ‘Arabi dalam al-‘Awashim. Namun Syaikh al-Bani menjawab semua krirtik keduanya.
. Banyak sumber sejarah memberikan informasi lebih detail dengan mencatat hitungan hari sisa namun informasi mereka berbeda-beda. Ketidakcocokan satu dengan yang lain ini sangat wajar karena keterbatasan adminsitrasi tata pemerintahan ketika itu. Lihat al-Albani dalam Silsilah Sahihah, Muhammad al-Khudlari Bik dalam Itmamul Wafa, h. 61.
. Lihat Imam Ahmad dalam Musnad no. 17680 dan berikut terjemahan aslinya :“Berlangsung masa kenabian -demikian kehendak Allah berlangsung-. Lalu Allah menghilangkannya -jika pada saatnya berkehendak menghilangkannya- dan berlangsunglah masa khilafah sesuai manhaj kenabian -demikian kehendak Allah berlangsung-, lalu Allah menghilangkannya -jika pada saatnya berkehendak menghilangkannya-. Lalu khilafah beralih menjadi kerajaan yang sangat dhalim (mulkan ‘adldlan) kepada rakyatnya -demikian kehendak Allah berlangsung-, lalu Allah menghilangkannya -jika pada saatnya berkehendak menghilangkannya-. Lalu beralih menjadi kerajaaan yang sangat otoriter (mulkan jabriyyah) -demikian kehendak Allah berlangsung-, lalu Allah menghilangkannya -jika pada saatnya berkehendak menghilangkannya-. Lalu beralih menjadi khilfah sesuai manhaj kenabian” lalu Nabi diam.
. Imam Ahamd meriwayatkan langsung dari Abu Dawud at-Thayalisi, mendengar dari Dawud bin Ibrahim al-Wasithi, mendengar langsung dari Habib bin Salim, mendengar langsung dari Sahabat Nu’man bin Basyir yang ketika itu mendengar hadis ini dari Sahabat Hudzaifah. Ath-Thayalisi, adalah imam dan penulis Musnad. Al-Wasithi, oleh Ibn Hibban dan at-Thayalisi sendiri disebut sebagai orang tsiqah (lihat Ta’jil al-Manfa’ah dan Dalail an-Nubuwwah karya Imam Baihaqi). Dan Habib menurut kesimpulan Ibn Hajar adalah la ba’sa bihi (lihat Tahdzib at-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani).
. Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari (Damaskus: Makatabah Darul Faiha’, 2000), cet. Ke-3.
. Ibnul Qoyyim dalam syarahnya atas Sunan Abu Dawud (?)
. Lihat misalnya Imam Thabari dalam Tarikhnya (?)
. Imam Abu Zaharoh, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, hal. 81-83.
. Imam Muslim, Shahih Muslim, no. hadis: 3431.
. Imam Abu Zahroh, op. cit. hal. 85.
. Pendapat ini, sebagaimana informasi Imam Nawawi dalam Syarh Muslim, no. hadis: 3431 dilontarkan Imam Haramain dalam kitabnya al-Irsyad fi Ilm al-Kalam. Imam Haramain menyebutkan masalah ini tidak termasuk qathiyyat, namun Imam Nawawi membantahnya. Sementara Imam Ibnu Katsir (op.cit. juz.1, h. 231) menuturkan bahwa Imam Haramain menceritakan pendapat Imam Abu Ishaq dalam masalah ini dan ia sendiri belum menentukan pendapat secara pasti. Sementara Ibnu Katsir, tampak menerima pendapat ini.
. Ibid..
. Imam Ibnu Katsir, Tafsir
. Lihat tafsiran ini dalam Imam Ibnu Jauzi, Zadul Masir
. Kata yastakhlifu dalam ayat ini sebagaimana juga di QS. Al-An’am: 133, QS. Hud: 57, QS. Al-A’raf: 129 mempunyai pengertian: menjadikan pengganti. Artinya, seperti dalam QS. Al-An’am: 133, “…jika Allah berkehendak, Allah (mempunyai kuasa) melenyapkanmu dan menjadikan umat setelahmu sebagai penggantimu sebagaimana (kuasa) Allah yang telah menumbuhkan kamu sekalian dari keturunan kaum (umat Nabi Nuh) yang berbeda (bahasa, kultur dan kebangsaannya)”. Kata yastakhlifu ini searti dengan kata yastabdilu dalam QS. At-Taubah: 39, “ Jika kalian tidak berangkat berjihad maka Allah akan menyiksa kalian dengan siksa yang sangat pedih dan Allah akan menjadikan ganti kaum selain kalian….”
. Ibnu ‘Asyur, op.cit.
. Tafsir Imam Qusyairi.
. Q.S. an-Nahl: 90
. Q.S. an-Nisa: 29
. Ibnu ‘Asyur, op.cit. Kaum as-Syuriyyun adalah sebuah bangsa yang pernah hidup di kawasan Irak yang berjaya di abad 14 SM, lihat al-Munjid.